Pembangunan Kesehatan, Kekuatan Strategis Dalam Agenda Bangsa

Oleh: Agung Prihatna*

Menjadi kekuatan strategis, itulah keinginan yang seharusnya dilakukan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Pada hari ini menjadi kekuatan strategis bukan saja rasional, melainkan dibutuhkan dan telah menjadi slogan. Dengan kondisi pembangunan kesehatan kita yang masih bermutu rendah, perlu kiranya kita benahi dan turut rembug pada pasal yang teramat penting tersebut. Pernyataan ini tentu bukan tanpa alasan, melihat berbagai indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia, terlebih jika melihat indeks pembangunan manusia Indonesia.

Salah satu indikator yang penting kita perhatikan adalah indeks pembangunan manusia atau dikenal dengan Human Development Index (HDI) yang memuat indikator usia harapan hidup, akses terhadap pendidikan standar hidup yang layak. HDI Indonesia pada tahun 2013 adalah 0,684 dengan posisi ke-108 dari 187. HDI Indonesia dibawah nilai 0,614 yaitu nilai HDI rata-rata kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia medium.

(UNDP, 2013) Kondisi diatas salah satunya karena wilayah di Indonesia yang sangat besar. Belum meratanya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan tingkat kesejahteraan pun berbeda di setiap daerah. Dalam konteks pembngunan kesehatan, tidak meratanya distribusi tenaga medis di seluruh wilayah Indonesia dapat dijadikan contoh. Saat ini jumlah SDM kesehatan tahun 2014 sebanyak 891.897 orang dengan jumlah terbanyak Provinsi Jawa dan Bali 435.877 orang.

Realitanya, ketidakmerataan SDM Kesehatan diatas menyebabkan sebagian masyarakat atau bahkan pejabat negara berpandangan negatif terhadap tenaga medis di Indonesia. Baik itu dokter, perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya. Kondisi demikian, membuat banyak kalangan memilih untuk menikmati fasilitas kesehatan di negara lain, dibandingkan di negeri sendiri. Selanjutnya, pandangan bahwa tenaga medis Indonesia hanya mau memilih di kota daripada didaerah terpencil itu pun terjadi. Pandangan tersebut tentu tidak selalu benar sebab sampai sekarang masih banyak tenaga kesehatan yang tetap mau bertugas dengan ikhlas di daerah terpencil.

Disisi lain, fasilitas pelayanan kesehatan yang masih minim bukti bahwa perlunya pembenahan disektor kesehatan kita. Dari data Kementriaan Kesehatan tahun 2014 terdapat 771 Rumah Sakit Pemerintah dengan rincian 14 milik Kementrian Kesehatan, 52 Pemda Provinsi, 456 Pemda Kabupaten, 81 Pemda Kota, 5 Kementrian lain, 121 TNI, dan 42 Polri. Ini jumlah yang sedikit mengingat era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sangat diperlukan penambahan dan perbaikan  mutu pelayanan rumah sakit. Penambahan jumlah kamar, jumlah tenaga medis, atau penambahan jumlah rumah sakit adalah salah satu upaya perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan di Indoneisa. Dengan demikian, penanganan pasien BPJS akan semakin baik kualitasnya. Akhirnya slogan universal coverage benar terwujud diera Jaminan Kesehatan Nasional ini.

Menyibak kondisi pembangunan kesehatan saat ini, semangat untuk memperbaiki adalah sebuah keharusan yang dimiliki setiap elemen agar menciptakan perubahan. Suatu spirit positif yang dibutuhkan bukan saja kemajuan, namun juga peradaban. Spirit positif tersebut merupakan aset berharga yang memungkinkan bahwa pembangunan kesehatan perlu sebuah perbaikan.

Ditengah kondisi bangsa yang dibayang-bayangi krisis politik dan moral saat ini, pembangunan kesehatan dituntut untuk tetap menjadi prioritas agenda strategis bangsa. Oleh karena itu, pemerintah harus meletakkan sikap dan aksinya dalam koridor agenda pembangunan kesehatan tersebut. Tidak terjebak pada fenomena sesaat dan tarian pihak lain yang belum tentu sejalan dengan masa depan pembangunan kesehatan itu sendiri.[]

 

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com