Mahasiswa dan Kebudayaannya

Oleh Mahmud Amir*

DINAMIKA suatu entitas kehidupan dalam perjalanannya tidak pernah terlepas dari koordinat zamannya. Kemampuan membaca teks zamannya, kemampuan adaptif dan dan evolutif menjadi prasyarat eksisnya entitas pada suatu ruang dan waktu. Secara empirik, banyak entitas yang kemudian kehilangan energi kreatifnya untuk tetap bertahan dalam dinamika kehidupan yang dinamis karena terlampau jauh menyimpang dari apa yang menjadi kebutuhan, keinginan dari zamannya. Secara historis kehidupan mengenal banyaknya Peradaban Besar yang pernah tumbuh berkembang dan besar dizamannya, untuk kemudian runtuh dan menyisakan sisa peradaban yang menjadi input bagi peradaban selanjutnya, hal ini disebabkan ketidakmampuan menjawab tantangan zamannya.

Dinamika kehidupan mahasiswa sebagai bagian sistemik dari kehidupan kontomporer juga tidak terlepas dari hukum sejarah ini. Ini menyiratkan perlunya kesungguhan dan keseriusan dalam membaca teks zaman, untuk kemudian adaptif agar tetap mampu bertahan dan mewarnai Zamannya.  Kemampuan bertahan saja bukan menjadi tujuan final, tapi bagaimana kita mampu mewarnai gerak Zaman dengan apa yang menjadi keinginan kemanusiaan  yang berlandaskan pada Keadilan dan kebenaran.

Salah satu kecendrungan yang menguat di era sekarang ini adalah semakin melumernya batas-batas, baik batas secara fisik misalnya batas-batas geografis yang selama ini menjadi penghalang dalam interaksi untuk saat sekarang ini makin mengabur disebabkan semakin majunya tekhnologi komunikasi dan informasi, maupun batas-batas nonfisikal misalnya budaya, sehingga tidak ada lagi perbedaan substansial antara kelas menengah di Jakarta, London, Makassar, semua mengkonsumsi coca-cola, memakai jeans Levis, semua memusat pada satu budaya yang sifatnya global dan menggurita yaitu budaya konsumerisme massal. Budaya konsumerisme massal dan pemanjaan akan hasrat kemudian menjadi attraktors dan melakukan hegemoni pada segenap dimensi ruang dan waktu, menarik apa yang ada disekitarnya kedalam pusarannya. Semakin terpinggirlah budaya-budaya lokal yang muncul dari pengalaman adaptif masyarakat lokal pada kehidupan, hilanglah kearifan-kearifan sebagai intisari budaya lokal tadi.

 Ada dimensi lain dari budaya yang kadangkala terabaikan, tetapi sangat urgensif, dimana budaya yang berperan sebagai identitas dan lencana pembeda yang menjadi jati diri bagi setiap individu dalam suatu masyarakat. Dengan semakin terkikisnya budaya, maka semakin kaburlah jati diri dan identitas, keterasingan, sehingga yang ada adalah individu maupun masyarakat yang kehilangan jati diri dan terasa asing dengan dirinya.

Ini juga menjadi ancaman bagi kehidupan kampus dengan budaya akademiknya yang berlandaskan pada rasionalitas. Apalagi untuk konteks negara transisi yang belum mengalami pematangan difrensiasi dan optimalisasi peran struktur sosialnya. Kaburnya identitas dan jati diri yang telah lama kita rasakan inilah yang sangat mengancam kelangsungan hidup, ini jugalah salah satu akar dari beberapa akar masalah sehingga kampus kemudian alih-alih mampu mewarnai zamannya, untuk bertahan hidup saja Kampus sudah terseok-seok, padahal kerinduan pada kampus yang menjadi suluh bagi penindasan dan ketidakadilan adalah fitrah kedirian kampus.

Perangkat teoritis yang didapat diruang-ruang kuliah dan budaya akademik yang berlandaskan pada penghargaan atas Rasio kemudian menguatkan dan mematangkan pisau analisa dan kerangka teoritik yang digunakan untuk menggeledah masalah social kemasyarakatan dan ketimpangan yang muncul demi pengabdian kita pada keadilan dan kebenaran itu sendiri. Begitulah mungkin harapan dan keinginan yang masih menjadi ideal-ideal belaka didunia kenyataan ini.

Kemampuan membaca teks zaman untuk kemudian melakukan adaptasi dan turut mewarnai zaman menjadi kebutuhan objektif bagi masyarakat kampus saat ini. Untuk itulah yang strategis dan urgensif kita lakukan adalah bagaimana membumikan dan menumbuh kembangkan budaya akademik dalam masyarakat kampus sendiri sebagai langkah awal. Tapi satu yang menjadi catatan, bahwa kita berhadapan dengan kemapanan yang telah melembaga sehingga kemudian proses pembumian menjadi agenda panjang yang kontinuisitas sifatnya.

Bonus demografi pemuda Indonesia menempatkan posisi negara ini sebagai negara yang memiliki potensi sangat besar mengingat usia produktif manusia berkisar dari 15-30 Tahun dan negara ini memiliki jumlah pemuda sebesar 40% (BPS). Dengan hal itu maka seharusnya ruang rasio dan skill value dalam kehidupan kampus tetap menjadi iklim yang tidak tergilas oleh budaya budpop.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membentuk mahasiswa mengingat bahwa mahasiswa adalah bagian dari pemuda yang akan menjadi harapan bangsa dan hal ini juga butuh kerjasama oleh pihak terkait (birokrasi kampus, pemerintah). Hal tersebut adalah mewujudkan keserasian kebijakan mahasiswa di berbagai bidang pembangunan, memperluas kesempatan pemuda memperoleh pendidikan dan keterampilan, meningkatkan peran serta mahasiswa dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, ketahanan, keamanan serta budaya dan agama,    meningkatkan potensi pemuda dan mahasiswa dalam kewirausahaan, kepeloporan, dan kepemimpinan dalam pembangunan, memperkokoh pembinaan mental, moral dan spiritual generasi muda yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Bila hal itu bisa kita lakukan mungkin mahasiswa dan pemuda Indonesia tidak akan tertindih oleh beratnya beban Globalisasi malah sebaliknya pemuda Indonesia mampu menguasai laju dan pasar Globalisasi.[]

 

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UNJ dan fungsionaris PB HMI 2013-2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com