Oleh: Agung Prihatna*
MDGs 2015 masih begitu hangat dalam benak kita. Betapa tidak, setelah lima tahun lalu mencanangkan visi Indonesia Sehat 2010, Indonesia telah dihadapkan akan pelaksanaan MDGs 2015. Kondisi demikian mengharuskan negara untuk berupaya keras agar butir tujuan yang terkandung berjalan sesuai target. Pasalnya, selain harus mengejar target pembangunan, MDGs 2015 merupakan bentuk tanggung jawab pembangunan dan tuntutan kontitusi atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh negara. Selain tanggung jawab sebagai fungsi penyedia kesejahteraan, MDGs 2015 adalah cita-cita pembangunan nasional yang terkandung di dalamnya pembangunan kesehatan. Menyoal hal demikian, alangkah baiknya pembangunan kesehatan terus kontinyu diperhatikan. Karenanya, pembangunan kesehatan merupakan indikator untuk mencapai indeks pembangunan manusia, atau yang selama ini kita kenal dengan Human Development Index (HDI).
Di tengah penantian jawaban visi Indonesia sehat 2010, kita perlu bernostalgia pada tahun 2000 tentang pembangunan nasional Indonesia. Gerakan program pembangunan nasional Indonesia yang sering kita kenal dengan Millennium Development Goals (MDGs) telah disepakati oleh perwakilan 189 negara dan ditandatangani 147 kepala negara pada Konferensi Tingkat Tinggi di New York. Adapun isi MDGs itu berupa butir tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2015. Penandatangan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak menyelesaikan pendidikan dasar, mengentaskan kesenjangan gender, mengurangi kematian anak balita, dan mengurangi hingga separuh orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. Konsensus tersebut bukti sejauhmana peran negara sebagai penyedia kesejahteraan dalam melaksanakan program pembangunan nasional itu.
Dinamika perkembangan pembangunan yang belum sesuai dengan target, MDGs akan digantikan dengan SDGs (Suistanable Development Goals). Tahun 2015 merupakan waktu yang ditargetkan para pemimpin dunia untuk mencapai tujuan pembangunan millennium dalam peningkatan kesejahteraan sosial. Namun, realisasinya Indonesia masih jauh dari harapan. Oleh karenanya, pasca MDGs 2015 perlu sebuah gagasan, kajian, dan penelitian yang demikian komprehensif dalam merancang dan mengimplementasikan pembangunan kesejahteraan sosial. Spirit kesejahteraan yang akan menjadi gagasan dan kerangka kerja pembangunan Indonesia kedepan, baik itu untuk pemerintah maupun berbagai stakeholder. Spirit demikian akan menjadi acuan dari capaian yang telah diraih MDGs secara berkelanjutan dan berkesinambungan.
Saat ini pelaksanaan MDGs terus berjalan hingga batas waktu 2015. Pencapaian dari butir-butir tujuannya belum dicapai secara penuh oleh negara. Kita ingat, tahun lalu pemerintah telah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014. Kemudian disusul pada November, Kartu Indonesia Sehat (KIS) oleh pemerintah diluncurkan sebagai program pemerintahan baru Presiden Joko Widodo yang merupakan “Nawa Cita” Pembangunan Indonesia. Idealnya, program itu bagian dari pembangunan kesehatan pemerintah guna mencapai butir tujuan MDGs 2015.
Tengoklah realitanya, pemanfaatan program jaminan kesehatan masih jauh dari kata tepat sasaran. Cakupan kepesertaan untuk masyarakat tidak produktif seperti penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan target 86,4 juta Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya 1,7 juta penerima KIS dengan 430 ribu nama yang jelas. Kasus terbaru di Desa Tambak Mulyo RT 03 RW 15 Tanjung Emas Semarang misalnya, dari 120 Kartu Keluarga, hanya 12 orang yang mendapatkan kartu pelayanan gratis tersebut. Penuturuan ketua rukun tetangga (RT) bersangkutan juga mengatakan dari 12 orang yang mendapatkan kartu, pembagiannya masih belum tepat sasaran. Sebagai contoh, yang perekonomiannya terbilang cukup ternyata dapat, sementara yang tergolong fakir miskin tidak dapat.
Kemudian, soal fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah yang terbilang belum memadai, baik aspek kuantitas maupun kualitas. Tercatat dari data Kementrian Kesehatan tahun 2014 terdapat 771 Rumah Sakit pemerintah dengan rincian 14 milik Kementrian Kesehatan, 52 Pemda Provinsi, 456 Pemda Kabupaten, 81 Pemda Kota, 5 Kementrian lain, 121 TNI, dan 42 Polri. Dengan jumlah SDM kesehatan tahun 2014 sebanyak 891.897. Ini jumlah yang sedikit mengingat era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sangat diperlukan penambahan dan perbaikan mutu pelayanan rumah sakit. Penambahan jumlah kamar, jumlah tenaga medis, atau penambahan jumlah rumah sakit adalah salah satu upaya perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan di Indoneisa. Dengan demikian, slogan universal health coverage benar-benar terwujud.
Kondisi diatas, catatan betapa pentingnya pembangunan kesejahteraan sosial dari pemerintah yang tampak diarahkan pada kualitas pembangunan manusia. Apalagi keberlanjutan MDGs 2015 merupakan bagian “Nawa Cita” pemerintahan baru yang termasuk didalamnya terdapat “Revolusi Mental dan Restorasi Sosial”. Spirit kesejahteraan merupakan kekuatan strategis untuk mencapai keberlanjutan MDGs 2015. “Nawa Cita” pemerintah sebagai landasan pembangunan, harus mampu menjawab issue-issue kesejahteraan seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dalam pusat peningkatan kualitas pembangunan manusia. Negara harus memberikan jaminan sosial layak yang mampu menjawab ketika warganegaranya sudah tidak produktif lagi. Pemerintah harus meningkatkan kualitas hidup layak rakyatnya sesuai amanat para pendiri negara Indonesia. Amanat yang termaktub dalam dasar negara untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meminjam bahasa Midgley, salah satu professor bidang pembangunan sosial, bahwa pembangunan sosial berupaya mengintegrasikan pembangunan kesejahteraan sosial satu paket dengan pembangunan ekonomi. Kalangan Ornop mendefinisikan bahwa pembangunan sosial sebagai pendekatan pembangunan yang holistic, tidak hanya memperhatikan aspek pendapatan ekonomi dan produktifitas kerja melainkan pembangunan manusia secara keseluruhan, mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan penguatan integrasi sosial. Berbeda dengan strategi modernisasi dan pembangunan ekonomi yang diusung pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha pembangunan ekonomi yang bersifat mikro.
Pemerintah sudah selayaknya berusaha menunjukkan bahwa pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial bukanlah sesuatu yang ideal lagi abstrak melainkan merupakan pendekatan yang realistis untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Pembangunan sosial akan dengan baik diangkat ketika pemerintah memainkan peranan positif dalam memfasilitasi, mengkoordinasi dan mengarahkan usaha dari kelompok yang berbeda baik secara individu, kelompok, masyarakat dan negara untuk mengangkat pembangunan sosial.
Spirit kesejahteraan menunjukkan bahwa semangat ini sangat mungkin untuk merealisasikan perbaikan yang signifikan dalam kesejahteraan sosial dengan memobilisasi pasar, masyarakat, dan negara dalam konteks pembangunan ekonomi yang lebih luas. Pada kasus MDGs 2015, peranan negara dituntut untuk kembali memberikan capaian yang nyata. Kebijakan kesehatan terutama soal Kartu Indonesia Sehat (KIS), pendekatan dan targetnya harus menyeluruh tepat sasaran sesuai dengan konsep pembangunan sosial. Dengan mengaharmonisasikan tujuan ekonomi sosial dan dengan memformulasikan kebijakan sosial yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan ruang lingkup universal.
Bagaimana negara berhasil meningkatkan taraf hidup penduduknya, walaupun pertumbuhan ekonominya masih terbilang belum meningkat. Dengan demikian penyelenggaraan kesejahteraan sosial pasca MDGs 2015 bisa memberikan hasil nyata. Tinggal kita sebagai generasi penerus, harus turut andil dalam pencapaian pasca MDGs 2015 tersebut.
*Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS)