KITA membayangkan mereka berada di lapangan Banteng siangitu, Sabtu 27 Oktober 1928. Para pemuda berkumpul di Gedung Katholieke Jonglingen Bondlalu pindah ke Gedung Indonesia Clubish (Sekarang gedung sumpah pemuda) padaMinggu, 28 Oktober di tahun yang sama.
Sugondo Djojopuspito memberikan sambutanya, sebagai ketua panitia kongres, ia mencoba memperkuat semangat persatuan para pemuda. Secarik kertas berisi teks dirumuskan Yamin, disodorkan kepada Sugondo lalu ditandatangani.
Sugondo membacakan isi dari teks tersebut. Suatu rumusan. Semua mengikutil afal demi lafal, seraya mematrinya dalam jiwa. Sebagai sumpah setia.Setelah itu, mereka menyanyikan lagu karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Suasana pun berubah: para tentara Belanda berdiri di samping kanan mereka. Mencoba membubarkan.Namun mereka tetap tegak berdiri. Indonesia Raya berhasil di kumandangkan. Itulah tonggak awal mula republik ini terbentuk.
Mereka waktu itu tidak lagi menamakan tanah air ini “Hindia Belanda”, namun “Indonesia”. Dengan itu mereka pun memasuki era baru berbangsa sebagai proyeksi masa depan. Sebuahcita-cita ditetapkan.Dengan itu juga, label penamaan yang dulu diberikan Kolonial kepada mereka, pagar identitas Sumatera, Jawa , Sulawesi atau Islam, Kristen, ditanggalkan.
Hari ini, ikrar yang satu dan menyatukan itu sudah menggema hampir sebelas windu lamanya. Tidak ada yang berubah, bangsa, tanah air dan bahasa 200 juta orang lebih penghuni gugusan katulistiwa ini masih satu, Indonesia. Bedanya, jika saat itu Indonesia merdeka baru sebatas imajinasi yang diperjuangkan. Sekarang, kemerdekaan Indonesia sudah digenggam, tapi coba kita tengok tanah air, bangsa dan bahasa kita.
Perhatikan tanah air ini, banyak manusia Indonesia cerdas yang berkarier di dan membangun negeri orang, sebab di negeri sendiri sama sekali tidak dihargai. Tanah, air bahkan udara negeri ini dieksploitasi habis-habisan, hanya 1 persen orang yang menikmati limpahan minyak dan kilaunya emas nusantara. Sementara, sekarang ini tidak kurang dari 40 juta rakyat harus menanggunng segunung beban akibat kabut asap yang tak kunjung bisa dipadamkan.
Lihatlah bangsa ini, di tengah arus demokratisasi dan globalisasi yang pesat. Masih ada sekelompok orang yang berpikiran dangkal menolak konsep demokrasi sekaligus menafikkan Pancasila. Kaum mayoritas yang ekstremis atas nama etnis sampai agama, tidak ragu meneror kelompok minoritas padahal masih sesama anak bangsa. Sementara, dengan penuh keangkuhan disertai kesesatan berpikir, berlindung di balik nama kebudayaan sebagian politisi kita justru ciut mengadapi globalisasi yang meniscayakan interaksi manusia lintas budaya, bahasa, teritori dan bangsa.
Bagaimana dengan bahasa, atau lebih luasnya masalah komunikasi? Tidak sedikit keluarga di negeri ini yang lebih bangga bercakap-cakap bahasa asing ketimbang Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kian terpinggirkan dengan segala aturan-aturan berbahasa yang melekat padanya. Sementara, para pimpinan negeri ini selalu menunjukkan drama dalam berbahasa, entah itu kata-kata sumpah serapah yang sering diucapkan. Atau, sampai pada kekacauan komunikasi antara Presiden,Wakil Presiden dengan pembantu-pembantunya.
Lalu, kondisi pemuda sendiri? Inilah kelompok yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, kaum muda menjadi harapan emas bangsa ini di tengah gema bonus demografi. Potensi, kompetensi, kapasitas dan kecakapan pemuda di negeri ini tidak perlu diragukan. Buktinya, ada sederet nama pemuda yang menjadi duta bangsa membawa nama harum negeri ke dunia internasional. Kreativitas kaum muda juga tiada taranya jika dibandingkan kreativitas-kreativitas yang muncul dari kelompok umur bukan pemuda.
Tetapi, tengoklah di sisi yang lain. Kaum muda dianggap labil, bertindak sesuka hati, suka melawan dan sebagainya. Sehingga, kaum muda masih belum diberi ruang dan kesempatan yang cukup untuk memimpin dan membangun negeri. Stigma ini semakin memuncak ketika menyeruak kasus bahwa segelintir pemuda sering terlibat dalam tindak kekerasan, tawuran, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Padahal, banyak faktor kausa keterlibatan pemuda dalam kasus di atas, disebabkan oleh kondisi eksternal daripada individu-individu pemuda itu sendiri.
Maka, pada peringatan Sumpah Pemuda kali ini. Sudah saatnya, kaum muda kembali bangkit dan bergerak. Keluar dari keterlenaan zona nyaman, masuk dalam lingkaran permasalahan bangsa, membawa segudang konsep dan gagasan bernas, muncul sebagai bagian dari pemecah permasalahan yang ada. Dimulai dari permasalahan kecil dan berada di sekitar lingkungan kita, itu sudah cukup baik.
Sembari itu, tidak ada salahnya jika kami, pemuda Indonesia–yang katanya suka menuntut. Di hari ini, akan kembali menuntut pemerintah untuk konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam berpemerintahan. Segera mewujudkan segala janji yang tertuang dalam Nawa Cita. Benahi pola koordinasi dan komunikasi antarpejabat tinggi negara. Selamatkan perekonomian nasional dari ancaman resesi global. Perluas akes dan tingkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan anak bangsa. Akhiri penderitaan puluhan juta rakyat yang terkepung kabut asap. Tegakkan hukum dan terus memerangi wabah korupsi. Pertahankan dan tingkatkan nilai-nilai kebudayaan bangsa. Serta, berikan fasilitas, kesempatan dan apresiasi yang seluas-luasnya bagi pemuda sebagai generasi emas untuk berkontribusi dalam upaya membangun bangsa. Hidup Pemuda dan Rakyat Indonesia. Jayalah Nusantara!. (pr*)
*Artikel adalah kiriman dari HMI Cabang Bulaksumur Sleman ([email protected])