Oleh: Muhammad Guntur*
Mahasiswa Islam atau yang biasa akrab ditelinga kita ‘HMI’, sebuah organisasi mahasiswa yang memilih untuk mengidentikan dirinya dalam identitas Islam ber-keindonesiaan. Setiap kader yang menasbihkan dirinya dibawah payung himpunan ini harus menanamkan sikap Keislaman dan Keindonesiaan, ditambah dengan ketetapan nan teguh iman, ilmu, dan amal, sejak 14 Rabbiul Awal 1366 Hijriah atau tepatnya 5 Februari 1947 Himpunan ini telah menujukkan eksistensi dirinya hingga saat ini.
HMI yang berdiri dua tahun setelah negara ini merdeka dalam sepanjang usianya tidak pernah melepaskan diri dari agenda-agenda kebangsaan dan keumatan, tidak terhitung berapa banyak HMI berperan setiap fase penting yang dilalui oleh republik ini, baik itu dari segi sosial, politik, religius, HMI selalu lahir dengan ide-ide cerdas dan segar, semuanya diberikan gratis kepada negeri ini sebagai bagian dari bakti tanpa pamrih yang itu tersirat dalam tujuan himpunan ini mewujudkan masyarakat yang ulul albaab, yang diridhai oleh Allah SWT.
Sejak saat berdiri hingga memasuki usia kini, Dari rahim Himpunan ini telah lahir ratusan ribu kader yang semuanya dilepas untuk berbakti kepada umat dan bangsa, mereka semua terdistribusi merata di semua sendi kehidupan bangsa, di birokrasi, politik, LSM, peneliti, akademisi, pengusaha. Dalam hal kepemimpinan, HMI juga telah berhasil melahirkan ribuan kader-kader yang kemudian mengemban amanah umat sebagai lurah, camat, bupati, gubernur, hingga wakil presiden Republik ini. Tidak terhitung berapa banyak para tokoh dan cendekiawan yang telah dilahirkan, sebutlah misalnya M. Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Nurkholis Madjid, Mahfud MD, Amien Rais, Munir, hingga nama-nama legislator saat ini dari berbagai Parpol seperti Bambang Soesatyo, Fadli Zon, Fadel Muhammad, Zulkifli Hasan, Akbar Faisal, dan banyak yang lain. Mereka adalah sebagian kecil dari banyak kader yang watak kepemimpinannya dibentuk di himpunan ini.
Anomali Kongres
Di usianya yang hendak 70 tahun, himpunan ini kembali berkongres, sebuah agenda besar yang bukan saja (walaupun selalu dianggap) untuk memilih Ketua Umum yang akan menjabat selama dua tahun kedepan. Kongres HMI selain sebagai ruang musyawarah dan silaturahmi, juga merumuskan bagaimana strategi HMI dalam upayanya terus memberikan pengabdian bagi umat dan bangsa. Kali ini, kota Pekanbaru dipilih sebagai tuan rumah. Sebelumnya pada tahun 1992 Pekanbaru juga pernah menjadi saksi dihelatnya kongres yang juga saksi pergantian tampuk dari Ferry Mursidan Baldan kepada Yahya Zaini. Meski tidak berjalan sesuai rencana karena sempat tertunda, kongres HMI telah berjalan.
Di arena kongres inilah watak kepemimpinan yang paling tinggi itu dibentuk, riak-riak etika berpolitik secara sehat yang telah terbentuk di RAK, Konfercab, hingga Musda, dipraktikan dalam skala puncak. Kongres di HMI adalah sebuah agenda sakral yang paling menentukan, sebuah momen bersejarah yang konon juga berperan secara sistematis bagi arah perjalanan negeri ini, paling tidak dalam urusan watak memimpin generasi muda yang ikut berkongres, yang kelak juga mungkin akan mendapat kesempatan memimpin bangsa ini. Itulah kenapa, sejak dulu, ribuan kader selalu tumpah ruah mendatangi kota yang terpilih sebagai tuan rumah kongres, tidak hanya peserta Penuh-Peninjau yang berasal dari lebih 200 Cabang dan puluhan Badko di seluruh Indonesia, peserta ‘non peserta’ yang biasa disebut Romli (Rombongan Liar) juga selalu datang meramaikan agenda silaturahmi ini, mereka datang ke kota tuan rumah kongres dari seluruh Indonesia umumnya dengan biaya sendiri, meninggalkan segala rutinitasnya di daerah asal dengan satu tujuan; bersilaturahmi dan mengawal sebuah proses yang paling bersejarah.
Namun begitu, beberapa minggu ini kita dikabari dengan sederetan peristiwa-peristiwa yang ironis, atau kalau boleh disebut sebagai anomali. Anomali baru yang entah kenapa dan bagaimana bisa muncul di tubuh himpunan ini. Bukan soal APBD Riau sebesar Rp. 3 M yang dipakai dalam menyukseskan kongres ini, tetapi soal perilaku yang tidak bermoral dan beretika yang ditunjukkan oleh para kader yang datang kesana. Di HMI kita diajarkan untuk ber-Akhlakul Karimah, meneladani sikap Rasul yang penuh dengan kasih-sayang, dimanapun dan kepada siapapun. Nyatanya, sebagaimana yang ramai diwartakan ke seluruh negeri, kader-kader HMI yang datang kesana (meski bukan semuanya) telah mencederai citra tersebut. Merusak, memukul, mengintimidasi, memaki, kader-kader HMI tidak seperti itu dan tidak dididik untuk menjadi seperti itu.
Yang terjadi di kota kongres jauh sebagaimana yang diharapkan, HMI justru telah berubah menjadi wajah lelucon dengan preman-preman sebagai pemerannya. Entah karena khilaf atau terbawa euforia eksternal. Kader-kader HMI sudah harus jauh melihat kedalam dirinya, bahwa Homo Politicus di HMI berbeda dengan Homo Politicus di ruang-ruang yang lain, lantas jangan membuat orang-orang berubah dari sebelumnya mengangguk-angguk kepada mengggeleng-gelengkan kepalanya ketika nama HMI disebutkan.
Sekilas Harapan
HMI adalah satu-satunya organisasi mahasiswa yang kuat secara infrastruktur, baik fisik maupun non-fisik, ini tentu menjadikan HMI memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal pengajuan ide-ide pembangunan bangsa. Sudah sepatutnya kader-kader HMI sadar dan memikirkan lompatan besar yang cemerlang, paling tidak sebuah cara taktis dalam mengawal bangsa Indonesia memasuki era globalisasi yang semakin jauh kedalam.
Kesadaran ini akan membawa kita pada hakikat dasar bahwa tujuan kita ber-HMI bukan praksisme, pragmatisme, dan apatisme. Tujuan kita ber-HMI adalah mewujudkan masyarakat yang Bhaldatun Thayibatun Warabbun Gafur, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur supaya mendapatkan ridho Allah subhana wa ta’ala.
Terlebih kita tahu bersama bahwa di era kontemporer ini, Islam sebagai agama yang telah bertahan selama empatbelas abad dituntut untuk lebih mempertahankan eksistensi dirinya, lebih-lebih terhadap ancaman konspirasi global dengan isu kekiniannya yang saat ini sedang merongrong setiap sendi keumatannya. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia seyogyaya menjadi semacam paper of example (lembar contoh) dimana ketika negara-negara Timur-Tengah yang merupakan asal-muasal dan kiblat kebudayaan Islam sedang disibukkan dengan konflik yang seakan tidak berujung.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sebuah gerakan yang lebih dari sekedar defensive action movement, sebuah gerakan yang itu bersumber dari transformasi pemikiran dan paradigma, gerakan intelektual yang kekuatannya diproyeksikan mampu menopang dan menyejajarkan ilmu pengetahuan Islam dengan posisi zaman. Dan di Indonesia, HMI dikenal sebagai salah satu gerakan yang berorientasi pada intelektual kaum muda. Potensi ini yang harus tetap dipertahankan. Kongres seharusnya melahirkan gagasan-gagasan, usulan-usulan prospektif yang dapat terus mempertahankan nafas himpunan ini dalam geliat perjuangan.
Kita semua, bukan hanya kader HMI, tetapi seluruh masyarakat Indonesia, baik muslim maupun non-muslim tentu berharap, HMI kedepan jauh lebih baik dari HMI yang lalu. HMI harus tetap berada di jalur benarnya, sebuah jalur panjang yang mengarah langsung dan pasti kepada perwujudan masyarakat adil makmur. Kader-kader HMI bukanlah penganut praksisme, pragmatisme, dan apatisme kehidupan, oleh karena itu jangan jadikan kongres ke XXIX ini sebagai tonggak pembentuk karakter pemimpin masa depan yang buruk kualitas ilmu dan imannya.
Untuk itu, Mulai saat ini, hingga detik-detik selanjutnya, kita harus berbenah. Tetapi pertama-tama, atas yang telah terjadi, marilah kita meminta maaf, kepada Pekanbaru, kepada Riau, kepada Indonesia, kepada Umat Islam.
*Penulis adalah Pengurus Badan Koordinasi (BADKO) HMI Maluku dan Maluku Utara (Delegasi Peninjau Yang Tidak Hadir di Kongres) – Mahasiswa Fak. Sastra, Universitas Khairun – Ternate