Oleh: JN el Aulia Syach*
ISU Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) akhir-akhir ini kian terasa. Terlebih setelah tokoh keturunan China yang kontroversial Basuki Tjahya Purnama alias Ahok santer dikabarkan akan maju dalam Pilgub DKI Jakarta. Hampir semua media massa nasional maupun media sosial ramai membahasnya. Pilkada DKI seolah adalah persoalan bangsa yang harus dipikirkan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Isu SARA memang kerap membelah bangsa Indonesia, termasuk membelah suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), dari Pilkada hingga Pilpres. Isu SARA menjelma komoditas politik yang seksi sehingga banyak digemari para pecandu kekuasaan.
Seiring bergulirnya isu SARA, realita terpuruknya ekonomi nasional yang ditandai Inflasi dan daya beli masyarakat yang rendah, kian terlupakan. Usaha rakyat yang semakin terpuruk, produk dan jasa bangsa asing yang kian memonopoli pasar, tak lagi menarik dibahas kalangan intelektual. Program pemerintah mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) agar bisa bersaing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tak lebih sekadar lips service dan retorika belaka. Sebab, suku bunga bank malah dinaikkan di atas rata-rata suku bunga Bank Negara-Negara Asean, plus kebijakan bebas visa 100 negara Asing untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara subsidi (terutama subsidi sumber energi) dan proteksi usaha rakyat dicabut. Belum lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan yang membuka kesempatan asing kuasai tanah dan asset negeri ini.
SARA Serupa Miras Oplosan
Menilik istilah SARA, perlu kiranya mengupas asal katanya, yaitu Suku, Agama, dan Ras. Suku bangsa merupakan gabungan sosial yang dibedakan dari golongan-golongan sosial karena mempunyai ciri-ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, Suku Bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki kesatuan budaya dan terikat oleh kesadaran dan identitas tersebut. Kesadaran dan identitas biasanya dikuatkan oleh kesatuan bahasa.
Sementara Pengertian Ras Menurut Stephen K. Sanderson adalah suatu kelompok atau kategori orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sendiri, dan diidentifikasikan oleh orang-orang lain, sebagai perbedaan sosial yang dilandasi oleh ciri-ciri fisik atau biologis. Artinya Suku dan ras condong kepada persoalan sosial.
Sedangkan Agama adalah suatu kepercayaan individu (privat) yang berlaku universal. Sehingga dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang tentunya teritoris (ada batas fisik wilayah), antara sosial politik dan agama atau kepercayaan, harus dipisahkan. Sebab tidak berlaku universalitas suku ‘A’ pasti ras ‘A’ bangsa ‘A’ dan beragama ‘A’ serta ber-Tuhan ‘A’ juga. Tapi Agama, contohnya Islam, setiap suku ras bangsa dan warga Negara dari belahan bumi manapun yang beragama Islam pasti ber-Tuhan Allah SWT.
Jadi secara paradigmatis SARA yang menempatkan Suku, Agama, dan Ras antar golongan secara kongruen jelas hanya akan menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif. Justru akan memecah belah sesama bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia sudah terpecah belah, saling menyerang tanpa peduli siapa kawan dan lawan, seperti orang mabuk minuman keras (Miras) oplosan, akhirnya sama-sama mati sia-sia. Siapa yang diuntungkan? Tentu mereka bangsa-bangsa neo imperialisme itu. Mereka akan semakin leluasa menghisap, menelanjangi, dan memprekosa bumi pertiwi.
SARA Bak Sang Ilusionis
Ketika kesadaran akan mulai terasanya hegemoni asing dalam segala sendi kehidupan bangsa Indonesia (terutama ekonomi) lagi-lagi SARA merajuk. Atas nama kemanusiaan, toleransi,dan pluralisme, bangsa Indonesia tidak boleh mendikotomikan pribumi (bumi putera) dan non pribumi, serta asing. SARA merayu agar bangsa Indonesia tidak anti asing, termasuk penjajah. Terlebih, penjajahnya tidak bersenjata dan tanpa kekuatan militer.
Realitas Indonesia dikuasai produk-produk impor China, Taiwan, Amerika Serikat (AS), Arab, India, Korea, Japang, dan Australia (terutama Cina dan AS paling dominan), dianggap sebuah keniscayaan hukum rimba raya: ‘siapa kuat dia menang’. Kenyataan produk-produk impor itu mematikan produk dalam negeri, dinafikkan.
Fakta masyarakat Indonesia sengaja dibuat konsumtif produk asing, jelas terpampang saat jelang lebaran. Transaksi di pegadaian meningkat beriringan dengan meningkatnya omzet penjualan HP hingga petasan China; biskuit, soft drink, dan aneka kebutuhan praktis produk AS; onderdil otomotif Korea, Jepang, Taiwan; sapi Impor Australia; Qurma Arab, sinetron ala India, dan aneka pernak-pernik made in asing, dianggap tradisi lebaran yang lazim. Tradisi menghabiskan jutaan liter BBM demi mudik, padahal tahu cadangan minyak sedikit dan industri dalam negeri terpuruk, dianggap lumrah. Itu selalu didorong dan difasilitasi rezim yang berpartner dengan perusahaan raksasa multi nasional agar tetap langgeng, semakin mengakar dan membudaya. Semua seolah mendadak lupa jika tambang minyak dan mineral berharga Indonesia dikuasai asing.
Argumentasi “kalau anti asing jangan pakai produk asing” menjadi racun yang ampuh untuk menanamkan sikap menerima asing. Rezim pro asing dan penjaganya selalu mengobral propaganda gombal itu. Padahal logikanya bagaimana rakyat tidak menggunakan produk asing wong pemerintah saja membuka lebar-lebar keran impor dan investasi asing, sementara usaha dan industri dalam negeri justru dibiarkan mati suri?
Seruan anti pertentangan SARA terus dikampanyekan dan berlaku untuk semua bangsa, sehingga membiaskan eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia. Nasionalisme Bangsa dan Negara Indonesia dinegasikan dengan Internasionalisme mengatasnamakan kemanusiaan. Asumsinya, hak setiap manusia di dunia adalah sama. Digiringlah opini bahwa tidak ada suku dan ras asli Indonesia, semua Impor, sehingga seolah bangsa negara asing mana saja boleh menguasai Indonesia.
Propaganda kedua, istilah “Bangsa kita dijajah oleh bangsa sendiri”. Dicontohkannya segelintir oknum pengusaha Indonesia. Tapi si pengusaha itu jika ditelisik ternyata punya relasi dengan asing. Si pengusaha itu hanyalah -apa yang disebut Soekarno sebagai-komprador (bahasa kasar: babu). Propaganda itu tujuannya jelas mengalihkan sasaran bidik dari juragan ke babunya. Hal itu menunjukan bahwa para anasir asing penjajah, struktur logikanya kacau. Harusnya juragan yang dibidik dan diusir, sehingga babu tak berdaya karena tak ada lagi yang menghidupi.
SARA yang seksi bak sang ilusionis, menghipnotis pribubumi Bangsa Indonesia. Ia menebarkan vaksin palsu berisi hostage syndrome, dimana orang yang tersandera dan tertindas justru akhirnya mencintai si panyandera hanya karena diperlakukan sedikit baik olehnya.
SARA Selingkuhan Ius Sanguinis Asing
Dari sisi terminologi SARA, suku bangsa dan ras pribumi Indonesia itu jelas ada. Indonesia secara de jure dan de facto menjadi bangsa dan negara merdeka serta berdikari (kata Soekarmo) sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang membingkai segala suku, ras, budaya dan agama dari Sabang sampai Merauke atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhinneka Tunggal Ika jelas bukan dari China sampai Amerika, Jepang sampai Arab, Korea sampai Australia, Malaysia sampai Singapura hingga Taiwan atau India.
Terkait bagaimana dan seperti apa menjadi Indonesia Sejati, sang Proklamator Soekarno pernah menyatakan dengan tegas,
“…..Saya sendiri juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit. Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak ?
Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…
Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur. Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia……..”
(Pidato dalam Kongres Nasional Baperki VIII).
Sosok Soekarno saat itu tentu sangat menyadari bahwa ada peranakan bangsa-bangsa lain penganut ius sanguinis, yaitu asas keturunan atau pertalian darah, dimana hak kewarganegaraan yang diperoleh seseorang (individu) berdasarkan kewarganegaraan ayah atau ibu biologisnya. Negara yang menerapkan asas ini adalah Republik Rakyat China (RRC) dan beberapa Negara Eropa serta Asia Timur yang berperadaban lebih maju.
Kebanyakan penganut paham ini, dimanapun Negara mereka tinggal, tetap patuh kepada bangsa leluhurnya. Karakteristik bangsa-bangsa tersebut cenderung ekspansif dan bahkan ekploitatif. Mereka tidak mau dijajah dan lebih baik menjajah. Ada yang karakternya menjajah dengan kekuatan militer, ada pula yang dengan kekuatan ekonomi. Penjajahan non militer itu kini kerap diwacanakan sebagai perang asimetris dan perang proxy.
Semangat yang digaungkan Soekarno adalah Nasionalisme kebangsaan, bukan internasionale (internasionalisme). Semangat yang dikobarkan Bung Karno adalah anti imperialisme atau segala bentuk penjajahan, bukan semangat mengundang penjajah apalagi menjadi kacung penjajah atau -yang disebutnya sebagai- komprador. Secara eksplisit pidato bung Karno di atas menunjukkan komitmennya untuk satu bangsa dan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Soekarno menyadari mustahil ada nasionalisme dalam jiwa warga Negara Indonesia ketika masih merasa sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Negara nenek moyangnya berasal. Nasionalisme kebangsaan Indonesia tak bisa diduakan. Indonesia adalah Indonesia saja.
Jika bangsa Indonesia sejati maka harus kesatria, setia, dan siap mempertahankannya. Meski mereka yang datang untuk menjajah Indonesia dari bangsa dan negara leluhurnya, harus dilawan. Tentu, menjadi bangsa Indonesia sejati, menjadi pribumi sejati, harus rela lucuti dan tanggalkan ius sanguinis bangsa asing, meski dari sanalah nenek moyangnya berasal. []
*Penulis adalah masyarakat Indonesia biasa, pecinta sastra dan budaya Indonesia, tinggal di Yogyakarta.