Menanggapi Tekanan Lembaga Pendidikan Terhadap Krisis Moral

Oleh: Teguh Wiyono, M.Pd.I*

KARAKTER yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanat tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian pada Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jika kita amati bahwa amanat Undang-undang tersebut tujuan yang paling utama adalah sikap religius terhadap Tuhan dan memiliki akhlak yang baik, cerdas, kreatif dan bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Namun di awal tahun 2018 dalam dua bulan yaitu Januari dan Februari dunia pendidikan mengalami tekanan yang sangat berat berkaitan krisis moral, diantaranya terdapat enam kejadian yang diekspos dan viral di media masa; Pertama, pada tanggal 20 Januari 2018 di kota Semarang, dua pelajar SMK merampok dan membunuh sopir taxi dalam jaringan. Kedua, 1 Februari 2018, kasus penganiyayaan seorang guru honorer seni rupa Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Sampang Madura hingga meninggal. Permasalahan hanya sepele, ketika seorang guru menegur siswanya karena dalam proses pembelajaran menggagu temanya dan guru tersebut  memberi hukuman dengan mencoret pipinya dengan cat warna, bukanya siswanya berhenti mengakui kesalahanya palah melawan gurunya dengan memukuli kepalanya, dan berlanjut penghadangan sepulang sekolah.

Ketiga, Wonosobo 30 Januari 2018 siswa MTs meninggal akibat dikeroyok pelajar SMP lainya. Keempat, di kota Semarang 3 Februari 2018 salah satu guru SMK dilaporakn ke polisi karena dugaan melakukan kekerasan kepada salah satu muridnya. Pihak sekolah menemukan sekitar 30 video porno di telephon genggam siswa tersebut. Kelima, 5 Februari 2018 di Purbalingga beredar video viral salah satu siswa SMP memaki dan menantang gurunya beradu fisik, setelah ketahuan membolos dan merokok. Keenam, Karanganyar 6 Februari 2018 beredar video salah seorang siswa SMP dikeroyok siswa-siswa lainya dikebun karet. 

Dari data kasus kriminalitas yang terjadi di era sekarang ini yang mencuat justru dilakukan oleh anak-anak usia sekolah seakan-akan bangsa ini krisis dari moral. Hal ini tentunya sangat ironi bagi para generasi anak muda kita, untuk bertanggng jawab terhadap dirinya sendiri saja tidak bisa apa lagi berpretasi, mengurus masyarakat dan bangsa. Pemuda merupakan bentuk miniatur-miniatur dari kehidupan suatu bangsa. Akan bagaimana bangsa Indonesia 20, 30, 40 tahun yang akan datang, jika para pemuda sudah tak bermoral.

Dari berbagai problem tersebut tentunya mencoreng dan menekan dunia pendidikan. Lembaga pendidikan seakan-akan tidak bisa mencetak calon para ilmuan untuk memajukan suatu bangsa untuk menjadi lebih baik. Lantas jika sudah seperti ini siapakah yang salah atau siapakah yang akan bertanggung jawab, atau mungkin memang karakter standar kompetensi lulusan pendidikan kita belum baik?

Munculnya kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) tidak terlepas dari pengaruh perkembangan tekhnologi usia anak dinilai belum mampu menyaring informasi yang didapat. Tontonan mereka menjadi Role Mode (peran teladan) tontonan televisi juga mempengaruhi, seperti kebut-kebutan, dianggapnya sebagai sebuah realitas, padahal itu sebenarnya Hiperrealitas kondisi itu menyebabkan efek negatif kepada anak-anak.

Pola Asuh Yang Jelas

Hal yang harus kita lakukan untuk meminimalisir tindakan amoral/kriminal, diantaranya; Pertama, Pendekatan keluarga melalui penyuluhan pola asuh yang jelas dan orang tua perlu lebih fleksibel dalam bertindak dan berbicara. Karena biasanya banyak orang tua yang jarang berkomunikasi dengan anak, itu dikarenakan orang tua yang selalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak banyak yang dibicarakan pada saat berada di rumah. Kedua, Advokasi kepada guru bimbingan konseling ditingkat sekolah diintensifkan. Ketiga, Sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter anak-anak. Pasalnya tidak semua anak-anak beruntung mendapatkan pola asuh pendidikan yang baik dan benar dari keluarganya. Guru dapat menjadi pengganti orang tua bagi anak didiknya ketika berada di sekolah, karena setiap hari mereka melakukan komunikasi, dan melihat pola perilaku yang terjadi misalnya agresif atau menarik diri dengan lingkungan, bisa segera ditindak lanjuti. Selain itu, sekolah merupakan penentu kelulusan bagi seorang anak atau peserta didik tidak hanya memberikan nilai dalam secarik ketas ijazah yang diberi nilai tinggi karena sekolah takut tidak laku oleh masyarakat atau takut untuk dimarahi instansi atasnya, tetapi benar-benar nilai yang didapat peserta didik benar teruji dari Afektif, Kognitif dan Psikomotorik.

Keempat, perlunya pengawasan baik dari orang tua ketika berada di lingkungan keluarga, guru pendamping sekolah ketika sedang ada kegiatan atau masih di jam sekolah, ataupun di lingkungan masyarakat. Kelima, perluasan peranserta pemangku agama untuk bisa menekankan terhadap makna-makna keagamaan, karena dengan agama mampu mengenalkan anak terhadap Tuhan untuk apa manusia diciptakan,  selain itu juga di dalam agama mengajarkan hal-hal perintah untuk berbuat baik dan menjauh dari perbuatan yang mungkar. Keenam, pemerintah atau penegak hukum harus bisa tegas dan menyeleksi terhadap tanyangan-tanyangan di televisi mana yang baik dan mana dapat merusak generasi pemuda.

Kasus krisis moral bukan menjadi tugas dan menekan lembaga pendidikan untuk mengentaskanya tetapi tugas kita semua sebagai masyarakat dengan saling kerjasama. Kita sebagai orang tua dan masyarakat berharap, semakin modernya suatu keadaan tentunya semakin berkarakter moralnya, kita tidak ingin sejarah terulang kembali sebagai bangsa yang dijajah yang tidak memiliki keterberdayaan atas keejaman para penjajah yang tak bermoral [*]

*Dosen di Universitas Terbuka Purwokerto Pada Fakultas Pendidikan, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com