Mengintip Gebetan Politik Pilpres 2019

Oleh: Edison Guntur Aritonang*

Berbagai pertemuan politik dan tokoh semakin intens, termasuk _bisik-bisik politik_ untuk memperbincangkan Pilpres 2019 yang penetapan calonnya semakin dekat, tidak lebih dua pekan lagi. _Sang pangeran_ yang memiliki kesempatan untuk mendaftarkan namanya masih mengarah pada dua tokoh, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto (Prabowo). Namun para pengeran tersebut masih belum menentukan siapa pasangannya untuk didaftarkan sebagai _pengantin_ dalam ajang kontestasi Pilpres 2019 ini.

Dinamika manuver dan unjuk kekuatan mewarnai langkah-langkah kedua tokoh tersebut untuk memilih pasangannya, manuver Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sehingga Jokowi kembali merogoh kantongnya dan manuver Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan memberikan sinyal cenderung berkoalisi dengan Gerindra membuat konstelasi politik tiga poros menjadi kecil peluangnya. Kondisi sulitnya mencari wakil dari Jokowi dan Prabowo disebabkan oleh permainan strategi politik tingkat tinggi. Namun yang cukup mengejutkan adalah pernyataan Prabowo pada acara Ijtimak Ulama di Menara Peninsula, Jakarta, 27/7/2018 lalu, _“Saya menyatakan di sini, di hadapan saudara-saudara, saya siap jadi alat untuk perubahan sosial, untuk menjadi alat umat, dan alat untuk rakyat Indonesia. Tapi, kalau saya tidak dibutuhkan dan ada orang yang lebih baik, saya pun siap mendukung kepentingan rakyat dan umat Indonesia”_, seolah-olah ada keengganan para ulama yang dibaca Prabowo untuk mendukungnya maju sebagai Capres.

Pernyataan tersebut tentu berdasar jika dilihat dari rangkaian peristiwa sebelumnya, yaitu himbauan Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk belajar dari Pilkada DKI 2017, pertemuan Prabowo-SBY (24/7/2019) terkait rencana koalisi, pertemuan SBY- Zulkifli Hasan (25/7/2018) masih terkait rencana koalisi dalam Pilpres 2019. Ada berbagai kemungkinan yang terjadi terkait siapa yang menjadi wakil Prabowo atas rangkaian pertemuan para tokoh politik tersebut. Sampai hari ini (29/7/2018), hasil Ijtimak Ulama itu merekomendasi Prabowo sebagai Capres dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri dan Ustaz Abdul Somad sebagai sosok Cawapresnya menjadi konfirmasi atas rumitnya mencari sosok Cawapres Prabowo karena akan menambah kompleksitas pembentukan koalisi yang solid antara Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat.    

Jokowi dan Prabowo sebagai “Gebetan”

Apapun yang menjadi latar belakang kepentingan terkait rencana menjadi Cawapres dari Jokowi ataupun Prabowo, dua tokoh sentral ini menjadi “gebetan” meminjam istilah anak muda sekarang ketika _naksir_ seseorang. Kedua tokoh tersebut seolah-olah disodori lirik lagu Krisdayanti, _“Pilihlah aku jadi pacarmu”_, agar secara bersama-sama nanti dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan Capres-Cawapres pada 4 s.d 10 Agustus 2018 ke KPU.

Cak Imin dengan _paralanguage_-nya melalui slogan _“Siapapun capresnya, Cak Imin Cawapresnya”_, mengambil posisi secara tegas, namun sayangnya hal tersebut menjadi multi tafsir dan memicu para tokoh lain dari Ketua Umum (Ketum) partai pendukung pemerintah untuk langsung _to the point_ menawarkan nama sebagai wakil Jokowi pada Pilpres 2019 nanti, untung saja 10 nama yang diajukan tersebut masuk dalam kantong “misteri” Jokowi sehingga sampai saat ini siapa yang menjadi wakilnya masih tersimpan dalam memori segelintir orang.

Rumitnya Jokowi dalam menentukan wakilnya, Prabowo juga mengalami hal yang sama, tentu dengan pertimbangan dan kebijaksanaan yang tinggi sehingga sampai hari ini belum disampaikan ke hadapan publik. Skenario pasangan Prabowo-Anies, Prabowo-Aher, Prabowo-AHY, dan Prabowo-Somad telah menghiasi narasi berbagai media cetak dan online. Kerumitan itu terjadi karena adanya pertimbangan ditinggalkan atau meninggalkan koalisi, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Padahal berdasarkan catatan sejarah politik di Indonesia, pasca reformasi, tidak ada koalisi yang abadi, yang terjadi hanyalah perebutan kesempatan untuk berkuasa. Pertentangan suasana kebatinan PDIP dengan Golkar atas masa lalu mencair karena sama-sama mendukung Jokowi, persahabatan PDIP-Gerindra sebagai oposan 10 tahun pemerintahan SBY merenggang karena Pilpres 2014, dan Koalisi Merah Putih bubar karena adanya kebutuhan politik untuk menyalurkan kader sebagai jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.  

Oleh karena itu, ada benarnya adagium politik yang mengatakan _“tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”_, namun demikian sangat diharapkan dalam konteks berbangsa dan bernegara ini, kepentingan itu adalah kemaslahatan umat, untuk rakyat Indonesia. Sebenarnya, kesiapan Prabowo untuk mendukung kepentingan rakyat dan umat Indonesia seperti dalam pidato yang disampaikannya pada acara Ijtimak Ulama di Menara Peninsula lalu dapat menjawab kerumitan tersebut, dengan mendukung Jokowi sebagai Capres dan dirinya menjadi Cawapres. Teori _“the bird on the hand”_ jika dipakai oleh Prabowo dalam menjawab kerumitan situasi ini, akan menyelesaikan persoalan Pilpres 2019. Akan terjadi sedikit kegoncangan sebagai pijakan untuk mengantarkan pada tatanan baru politik Indonesia, karena koalisi barupun, pasca Pilpres 2019, akan terbentuk sebagai bagian dari adagium politik kepentingan tersebut.     

Pluralistik Masyarakat sebagai Juri

Masyarakat Indonesia sangat plural baik dari dimensi suku, adat, bahasa, ras, agama dan lainnya, sehingga konsensus hidup bersama sebagai bangsa dan negara seperti yang tertuang dalam 4 pilar kebangsaan tersebut menjadi sangat penting. Representasi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pemilih yang sah dalam menentukan kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2019 nanti sangat diharapkan tidak terbelah menjadi dua kelompok besar, sehingga isu-isu politik primordial tidak mendominasi aksi-aksi propaganda sebagai bagian dari strategi peserta kontestasi. Biarlah masyarakat pemilih yang plural tersebut menjadi juri yang adil dengan menjatuhkan pilihannya atas program-program rasional yang ditawarkan paslon untuk memajukan kesejahteraan umum.

Terkait siapapun nama yang muncul menjadi Cawapres dari Jokowi ataupun Prabowo, ada kriteria penting yang perlu tetap diingat, yaitu _bibit, bebet_, dan _bobot_ sehingga kelak pengelolaan negara dapat dilakukan secara baik, karena tata kelola negara mencakup dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan negara, sehingga memerlukan kapasitas yang layak dan pantas. Kapasitas pemimpin sangat diperlukan untuk mengantarkan bangsa dan negara ini pada tujuannya, yaitu kehidupan bangsa yang cerdas, kesejahteraan umum yang maju, kemampuan aktif dalam menjaga dan memelihara perdamaian dunia.[*]

*Penulis Afdalah Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan, Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com