Oleh: JN el Aulia Syah*
Joko Widodo (Jokowi) akhirnya resmi menyatakan maju lagi sebagai Calon Presiden (Capres) 2019-2024 dengan meminang KH Ma’ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang mendampingi. Tentu publik terkaget-kaget, karena sang Kyai termasuk tokoh yang dikenal sebagai ulama yang selama ini cukup kritis terhadap pemerintah sebagai salah satu “senopati” aksi 212 (Aksi Bela Quran 02 Desember 2017 yang lalu). Munculnya Ma’ruf yang Ketua Pengurus Besar (Rais ‘Aam) Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) nyaris tidak terprediksi pengamat politik yang kerap menjadi ‘macan media sosial’ dan ‘singa kamera’ selama ini.
Dalam kacamata politik jaman now, tentu bukan hal aneh, ketika Ma’ruf yang pernah berfatwa seakan menyindir Jokowi; agar pemimpin yang ingkar janji boleh tidak dipilih lagi (kurang lebih begitu kalimatnya), kini menjadi Cawapres Jokowi.
Bukankah kita ingat ketika 2014 silam, Jusuf Kalla juga mengatakan; “Hancur Bangsa ini kalau Jokowi Presiden” (kurang lebih seperti itu kalimatnya). Bisa dikata, Pola Jokowi sepertinya sama, masih dengan politik ‘mangku’ (memangku) yang dalam filosofi aksara Jawa, maka huruf apapun kalau dipangku pasti ‘mati’.
Sudah teruji tokoh-tokoh yang semula kontra Jokowi diujung menjadi pro Jokowi. Sebut saja Rizal Ramli, Mahfud MD, Ali Mochtar Ngabalin dan seterusnya. Semua ‘dipangku’ dengan jabatan.
Bagaimanapun Ma’ruf punya nama besar sebagai ulama. Ia juga menunjukkan taringnya dalam aksi 212 yang mampu menumbangkan Ahok-Djarot yang digadang para punggawa Parpol berkuasa sebagai pemenang Pilkada DKI. Semua Lembaga Survei memajang prosentase elektabilitas Ahok -Djarot tak terkalahkan.
Bisa jadi Jokowi trauma atau tepatnya belajar dari kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI, akibat lidah Ahok yang keseleo dan melukai ummat Islam. Ia mendaulat Ma’ruf biar selalu diingatkan dan teringat supaya tidak melukai ummat Islam (lagi) seperti Ahok.
Lalu kenapa partai pengusung di luar PDIP tak dijatah Wapres? Ibarat kata, cukup PDIP plus NasDem yang sudah teruji loyalitasnya saja sudah cukup mengusungnya. Kans menang tetap besar. Sementara PKB, Gokkar, Perindo, Hanura, PKPI, PSI, dan PPP tidak meributkan, karena partai-partai tersebut lebih akan fokus dalam Pileg dan mendamba jatah kursi Menteri. Parpol selain PDIP dan NasDem mungkin hanya ‘disunahkan’ untuk menggerakan mesin partainya secara ‘jor-joran’. Jokowi menyadari betul hanya PDIP dan NasDem kekuatan intinya, dan kedua Parpol itulah yang mewajibkan diri untuk berjibaku memenangkan Jokowi dua periode.
Intinya, dalam hal ini Jokowi mulai benar-benar memperhitungkan kekuatan kelompok Islam sebagai alat politiknya.
Lalu bagaiamana dengan Prabowo yang tak kalah mengejutkan dengan menunjuk Sandiaga Solahudin Uno (Wagub DKI) sebagai Cawapres? padahal jelas Sandiaga itu dari Gerindra. Artinya, Prabowo rupanya bersungguh-sungguh ingin menjadi pendekar, karena tak satupun diantara kader partai koalisi pendukungnya diberi kesempatan Cawapres. Ya, Pendekar, seperti yang ia kerap katakan dalam pidato-pidato politiknya diinternal Gerindra, maksudnya ‘berjuang sendiri bersama Gerindra’.
Tentu Prabowo sudah memperhitungkan semua konsekuensi logisnya. Barangkali Prabowo sudah benar-benar belajar dari pengalaman, tidak ingin blunder yang diciptakan partai-partai pendukung dan pengusung di luar Gerindra, terulang kembali.
Sederhana saja contohnya, ketika pra Pilpres 2014 yang lalu Prabowo sudah iklan bertahun-tahun dengan biaya miliaran untuk mencitrakan diri sebagai tokoh nasionalis patriot Bhinneka Tunggal Ika, yang hendak merangkul semua Suku, Antar golongan, Suku, Ras, dan Agama. Namun di ujung ia didaulat PKS dan PAN sebagai “Panglima Ummat Islam” dan semua propaganda itu ditingkahi gaya-gaya ala Ikhwanul Muslimin (IM).
Kita tahu banyak kalangan, masih menilai Islam model IM tidak relevan di Indonesia, terutama oleh kelompok Islam tradisional yang dominan. Kelompok ala IM cenderung eksklusif sehingga kurang mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian juga dengan Cawapresnya di 2014, Hatta Rajasa yang besan mantan Presiden sekaligus Boss Besar Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hatta jelas ‘titipan’ PAN dengan campur tangan kuat Amin Rais (AR), sedangkan sosok mantan ketua MPR tersebut tidak berpengalaman menang dalam perebutan kekuasaan di eksekutif (Presiden). Ia bahkan jamak dikenal bikin ‘blunder’ dengan gaya komunikasi politiknya yang menebar kegelisahan (kalau tidak mau dibilang memperkeruh suasana). Namun demikian, AR piawai merebut kekuasaan di lingkar elit legislatif.
Zul Kifli Hasan (sang menantu), contohnya. Ia bisa ‘nangkring’ ketua MPR setelah PAN sempat baik-baikin Jokowi. Tentu saja tak mungkin tanpa konsultasi dengan AR, demikian dengan PAN yang turut mundur teratur dari Koalisi Merah Putih (KMP).
Lalu bagaimana dengan Demokrat? tentu saja, Partai besutan SBY ini tidak kalah bikin blunder pada Pemilu 2014 lalu. Kader-kadernya dipasang di dua belah kubu. Politik dua kaki ini jelas sekali nampak di 2014 lalu. Demokrat lebih memilih bergerilya di daerah-daerah (Pilkada). Pada Pilkada DKI Demokrat dan PAN mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sang putra mahkota. Perolehan suaranyanyapun tak signifikan. Melihat angin lebih Anies-Sandi, maka AHY pun merapat. Di DKI boleh belum memang, tapi di daerah lain, Demokrat termasuk sukses memenangkan Pilkada. Momen Pilkada DKI hanya sarana mendongkrak popularitas sang Pangeran yang lama dipingit di barak Tentara.
Kali ini, kenapa Demokrat merapat ke Prabowo? tentu saja, karena tak mingkin Demokrat diterima baik Jokowi yang jelas ‘Petugas’ partai punya Megawati Soekarno Putri (MSP). Entah sandiwara elit atau tidak, publik mengetahui antara SBY dan MSP kurang akur.
Setelah lima tahun ‘seolah’ tidak pro sana-sini, ternyata Demokrat yang bergerak senyap dalam Pilkada sudah cukup membuahkan hasil. Kader-Kader Demokrat banyak yang jadi pemimpin daerah. Demokrat dengan sang ‘Panglima Tertingginya’ SBY yang terkenal ahli strategi (ada yang bilang: jago menyelip di tikungan), jelas tidak ambil pusing apakah Jokowi atau Prabowo yang menang nantinya. Sebab, bargainingnya sudah cukup kuat.
Kira-kira begitu tabiat partai pengusung Prabowo dalam Pilpres kali ini.
Sementara itu partai pendukung, yaitu partai baru bentukan Tomy Soeharto belum teruji. Bisa jadi, itu karena Sang mantan istri, Siti Hediati Soeharto (Titiek Soeharto), yang baru saja menyeberang dari Golkar ke Berkarya, masih punya ‘chemistry’ terhadap sang mantan. Sebab setidaknya sang mantan masih selaras dengan ideologi politik mendiang ayahnya (Soeharto).
Prabowo sepertinya ‘Madhep Mantep’ yakin bahwa kemenangan dirinya adalah bagaimana Sosoknya dan sang Wapres bisa ‘dijual’. Prabowo sadar betul jika Pilpres beda dengan jenis Pemilu lainnya, dimana ketokohanlah yang akan diperhitungkan rakyat. Dukungan Partai di luar Gerindra hanya formalitas, sekadar syarat bisa mendaftar ke KPU. Toh, Demokrat, PAN dan PKS sudah oke mengusung, tanda tangan Ketum atau Presiden dan Sekjen Partai masing-masing sudah dikantongi. Bagaimanapun Prabowo tentu menyadari pentingnya partai pendukung, setidaknya sebagai legalitasnya maju sebagai Capres. Mesin Parpol memang penting tapi Parpolnya sendiri (Gerindra) yang mesti dimaksimalkan karena yang paling bisa dikendalikan. Bagaimanapun Prabowo punya basic militer. Semua harus terencana dan berjalan sesuai rencana tanpa gangguan (blunder). Selama ini mingkin ia lupa strategi militernya telah dicampakkan dalam pertarungan politik. Kali ini nampaknya bakal digunakan lagi, all out.
Sekarang, Prabowo barangkali sudah siap ‘luweh’ (Cuek) apakah PKS, PAN, dan Demokrat mau ikut gerak maksimal atau tidak. Bagi Prabowo mungkin, gerak sukur, kalau toh tidak gerak, setidaknya jangan sampai bikin blunder dan mengganggu ring pemenangan utama yang dikomandani Gerindra.
Namun tentu saja Prabowo berharap, PAN dan PKS tetap menggerakkan mesin politiknya secara optimal. Barangkali Prabowo sekali lagi memberi kesempatan dan uji loyalitas kepada mereka, tentu saja kalau ingin dapat jatah menteri jika kebetulan menang kelak.
Kenapa pula Sandiaga Uno dipilihnya sebagai Cawapres? Sandiaga terbukti punya ‘nilai jual’. Pengusaha dengan aset lumayan untuk modal politik. Ia cukup mengejutkan dunia perpolitikan di Indonesia. Sosok pengusaha pribumi yang relatif muda itu di Pilkada DKI cukup menjadi magnet tak terkecuali dengan kelompok Islam. Bahkan konon, Anies Baswedan yang sempat ‘dicap syiah’ bisa berdamai dengan para ulama dan habib di Jakarta berkat tangan dingin Sandiaga yang menyandingkannya.
Tapi setelah jadi, Apa Anies-Sandi secara verbal dalam pidato kemengannya mengucapkan khususon terimakasih kepada Ulama, Habib, bahkan umat Islam? tentu tidak. Mereka mengucapkan terimakasih kepada rakyat Jakarta yang sangat plural, menunjukkan diri sebagai ‘Nasionalis’ bukan ‘Agamis’.
Anies-Sandi yang sejak awal dicitrakan didukung kelompok Islam dan mencitrakan demikan karena memanfaatkan momen 212 (Bela Quran), di akhir-akhir justru menunjukkan sebagai nasionalis sejati yang ber Bhinneka Tunggal Ika. Jelas itu berbanding terbalik dengan Prabowo di Pemilu 2014. Prabowo yang sejak awal ancang-ancang dicitrakan sebagi sosok Nasionalis dan Patriot, malah last minutes dikerdilkan menjadi ‘Panglima umat Islam’ oleh PKS yang ala IM.
Prabowo nampaknya juga sadar, momen 212 kecil kemungkinan berulang, karena dengan Jokowi bersanding dengan Ma’ruf, maka hampir mustahil Jokowi keseleo lidah hingga menghina Qur’an dan Islam, apalagi Ulama. Kecuali kalau Allah SWT berkehendak.
Ya, Dua Capres menggandeng sosok yang dianggap dekat dengan kelompok Islam, terutama Capres Jokowi paling getol menggandeng ulama yang dianggap selama ini sebagai representasi ummat Islam. Perhelatan pesta demokrasi akbar kali ini benar-benar seru.
Pilpres kali ini boleh jadi memang pertaruhan sejarah perjalanan panjang dinamika Politik Indonesia, dimana selama ini tak ada dalam sejarah kekuatan politik Islam mampu menguasai parlemen dan eksekutif. Akankah dalam Pemilu kali ini kelompok politik ‘berlabel’ Islam mampu berkuasa?
Terlepas dari itu, siapapun kelak yang terpilih, mereka adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang semestinya didukung dan dikontrol bersama agar tidak lupa janji-janjinya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. (*) *Penulis adalah aktivis Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta.