JAKARTA – Reuni Alumni 212, pada 2 Desember 2018 yang lalu di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, kemarin menjadi peristiwa yang menjadi sorotan public dunia, tak hanya di Indonesia.
Selain membludaknya peserta dari berbagai daerah, tertib, tidak ada bakar-bakaran, tidak ada peserta yang dibayar, bebas sampah, ada beberapa hal yang menarik dari Reuni 212 kemarin, menurut Lembaga Riset Media Sosial, Komunikonten.
“Pertama, tidak ada sama sekali ajakan kudeta, makar kepada Pemerintahan yang sah dan berkuasa saat ini. Pergantian kekuasaan wajib lewat Pemilu, mantan Jenderal sekalipun jika ingin jadi pemimpin harus ikut pemilu. Ini penting sekali karena umur demokrasi kita masih belia, sekali ada kudeta bisa menyebabkan perang saudara yang lama,” kata Direktur Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria dalam keterangan pers, Rabu (05/12/2018).
Menurut Riqo, umat islam dengan jumlah terbanyak yang semakin tinggi ketaatannya pada konstitusi, perlu diapresiasi.
Momen istimewa kedua, Dikatakan Riqo adalah tidak ada sama sekali ajakan mendirikan negara khilafah apalagi mengganti Pancasila dalam reuni 212. Hal itu menurutnya sekaligus membantah adanya isu aksi super damai reuni 212 yang ditumpangi paham yang akan merongrong Negara Kesautuan Republik Indonesia,
“Hampir semua orator menyampaikan pentingnya menjaga Pancasila, mensyukuri keberagaman, menjaga persatuan dan keutuhan NKRI,” imbuhnya.
Sementara pesan penting ketiga, hal-hal yang disampaikan lebih banyak kepentingan nasional ketimbang kepentingan umat Islam atau golongan tertentu. Hal itu, kata dia, merupakan benang merah dari para orator mendambakan NKRI yang berdaulat,
“Ke-Indonesiaan dan ke-Islam-an sama sekali tidak dipertentangkan. Mayoritas peserta membawa bendera merah putih dan bendera bertuliskan kalimat tauhid,” tukasnya.
Kendati dihadiri Cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan tokoh-tokoh nasional berlatar belakang politisi, namun tidak ada yang berkampanye untuk kepentingan Pemilu 2019. Dari berbagai sumber yang diperoleh langsung di lapangan, melalui postingan peserta aksi, maupun live streaming di media sosial, tidak satu orang peserta pun membawa poster caleg, capres atau alat peraga kampanye lainnya. Seruan damai, damai, jaga kebersihan disampaikan dan ditaati seluruh yang hadir.
“Peringatan Anies Baswedan (Gubernur DKI) di awal acara juga diikuti peserta, tanpa keluar urat leher Anies Baswedan mengatakan: buktikan bahwa mendapat izin di monas, buktikan dengan hadir tertib lalu kembali dengan tertib, ini pean Keempat yang layak dicatat,” ujar alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Riqo menandaskan, dalam aksi damai reuni 212, juga tidak ada sama sekali muncul sindiran, ujaran kebencian yang ditujukan kepada umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan Yahudi. Tidak ada juga ujaran kebencian kepada suku, ras apapun,
“Intinya tidak ada yang menghina SARA. Justru yang diingatkan musuh bersama kita adalah ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya. Ini pesan Kelima yang kami garis bawahi,” imbunya.
Reuni 212, kata Riqo, memberi pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tetap konsisten anti penjajahan, karenanya diberikan waktu kepada perwakilan dari Palestina untuk menyampaikan orasi. Hal itu menurutnya merupakan pengamalan dari pembukaan UUD 1945; ‘Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’
“Itu yang ke Enam catatan pentingnya. Namun yang paling mengharukan bagi saya ketika lagu wajib nasional Indonesia Raya dinyanyikan bersama-sama, utamanya pada bagian: ‘Marilah kita berseru, Indonesia bersatu’. Walaupun bukan alumni 212, dari lubuk hati terdalam saya mengucapkan selamat atas suksesnya Reuni 212. Semoga pesan-pesan penting dari kegiatan itu dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Salam Kedaulatan,” tutup Hariqo Wibawa Satria. (kt1)
Redaktur: Faisal