Demokrasi dan Gelombang Perlawanan Mahasiswa

Oleh: Yefta Damar Galih Atmaja*

Hari Selasa, 24 September 2019, ribuan Mahasiswa yang terdiri dari gabungan berbagai universitas yang ada di Semarang turun ke jalan. Gerakan Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya menjadi sebuah momentum berkumpulnya massa aksi untuk menyampaikan aspirasi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah sebagai bentuk protes sekaligus menuntut proses kerja pemerintahan yang bermasalah. Tagar #SemarangMelawan #ReformasiDikorupsi membanjiri media sosial, arus media yang sangat masif menjadi alat untuk memobilisasi massa dan menyesaki ruang publik virtual.

Gerakan Mahasiswa dan elemen masyarakat pada hari Selasa 24 September 2019 yang lalu mengingatkan saya pada romantisme sejarah pergerakan Mahasiswa Tahun 1998 yang menggulingkan rezim otoriter, namun gerakan tahun 2019 ini bukan berbicara soal otoritarianisme, tetapi lebih kepada makna demokrasi yang ditelanjangi-dikorupsi oleh elite politik.

Aksi demonstrasi-unjuk rasa sebagai bentuk ungkapan dan ekspresi menyampaikan aspirasi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Alam demokrasi mengehendaki adanya kebebasan warga Negara untuk berpendapat, dalam hal ini sesuai dengan Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”., Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM : “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dn kepentingan umum”., dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum : “Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat”.

Dasar hukum tersebut yang kemudian menjadi perhatian penting penulis guna menyampaikan aspirasi, itu adalah Hak Asasi Manusia yang dilindungi dan dijamin oleh hukum. Regulasi yang akan menciptakan iklim demokrasi menjadi lebih baik ketika seluruh elemen masyarakat bisa melaksanakan dengan baik, namun reformasi politik yang mengubah otoritarianisme ke demokrasi tidak serta merta membawa iklim perubahan sosial politik yang lebih baik, aspirasi masyarakat dalam jumlah yang banyak adalah bentuk bahwa demokrasi di Indonesia benar-benar hidup. Kehadiran negara sebagai sebuah organisasi yang melingkupi seluruh kepentingan masyarakat multietnik, multireligi dan multikultural adalah tantangan bagi seluruh pemangku kekuasaan, negosiasi antar warga masyarakat dengan negara disebut John Locke sebagai kontrak sosial.

Rakyat memberikan “trust”, legitimasi, loyalitas dan bersedia diatur oleh negara, demikian juga Negara berkewajiban dan berkomitmen melindungi-menjamin hak-hak warga negara untuk mencapai kebaikan bersama, maka menjadi wajar ketika ada problem yang menuai kontroversi membuat rakyat turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi.

Kembali pada problematika yang ada, Mahasiswa sebagai kaum intelektual, Agent of Change, Agent of Social Control menjadi sorotan publik dan media masa ketika turun ke jalan menyampaikan aspirasi dan menuntut Pemerintah dan DPR untuk mencabut draft RKUHP/menolak RKUHP, mendesak untuk mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual, menolak pelemahan KPK, dll.

Yang menjadi sorotan penulis dalam tuntutan Aksi Massa adalah terkait narasi penolakan RKUHP dengan tagar #TolakRKUHP #RKUHPNgawur. Menurut penulis, narasi tolak RKUHP terlalu gegabah dan berlebihan, RKUHP disusun sejak tahun 1963, dirancang oleh tokoh hukum pidana yang sangat kompeten, yakni Prof. Sudarto, Prof Muladi, Prof Barda Nawawi, Prof Harkristuti Harkrisnowo, Prof Nyoman Serikat Putra Jaya dan masih banyak pakar lainnya. KUHP (Wetboek Van Strafrecht) yang masih berlaku hingga sekarang adalah warisan Belanda yang sudah berumur 1 abad, dan nilai-norma yang ada didalamnya cenderung liberal, maka dari itu RKUHP dibuat atas dasar semangat ke-Indonesiaan untuk menciptakan formulasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-norma budaya bangsa. Mengacu pada pendapat Friederich Karl Von Savigny bahwa hukum tidak hanya dibuat dan ditulis, tetapi harus timbul dari masyarakat/jiwa bangsa (Volkgeist), semangat ke-Indonesiaan itulah yang penulis pahami untuk menjaga nilai luhur bangsa.

Persoalan dan kontroversi beberapa pasal dalam RKUHP yang kemudian “memantik” Mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan hingga menolak adalah kurangnya pemahaman terkait hukum. Narasi yang timbul terkait penolakan RKUHP muncul karena mayoritas Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya hanya membaca teks dalam buku 2 tentang tindak pidana, namun tanpa membaca dan memahami buku 1 tentang ketentuan umum yang berisi asas, doktrin, pengertian, bahkan penulis meyakini bahwa Mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak RKUHP banyak yang belum membaca dan memahami Naskah Akademik. Penolakan itu bisa dilakukan lebih elegan dengan mekanisme hukum, yaitu Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, dengan sikap seperti ini, public akan lebih segan dan percaya bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual.

Hal inilah yang kemudian menjadi refleksi, apakah sikap dan tindakkan Mahasiswa yang menolak RKUHP sudah bertumpu pada kajian dan aspek intelektualitas, apakah sudah sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi atau hanya sekedar mengikuti euphoria narsistik yang di framing oleh media. Menurut Gramsci, Mahasiswa atau setiap orang terpelajar yang mampu memakai bahsa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa di ekpresikan oleh masyarakat adalah intelektual organik. Terlepas dari segala pro kontra, penulis salut kepada Mahasiswa yang berani bersikap walaupun sangat disayangkan turun ke jalan tanpa kajian mendalam, merujuk pada pendapat Voltaire “saya tidak setuju dengan pendapat anda, tetapi saya akan perjuangkan hak anda untuk berpendapat”. Dalam hal ini kampus tetap harus menjamin, kampus adalah Praesidium Libertatis (Benteng Kebebasan).

Fenomena yang terjadi perlu menjadi perenungan bersama, bahwa Mahasiswa dalam menyikapi isu masih banyak sekali yang gegabah dan cenderung “ikut-ikutan”, ketidakpahaman terkait hukum juga menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang (legislatif) dan ahli hukum untuk terus mensosialisasikan dan membuat masyarakat sadar serta memahami hukum, dan hukum yang bagus adalah hukum yang monotafsir (seluruh orang yang membaca memahami makna yang sama). Menutup dari tulisan ini, penulis mengutip pernyataan Cicero “Salus Populi Suprema Lex Esto” (kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi).(*)

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com