Melupakan Sumpah Pemuda

Oleh: Lainy Ahsin Ningsih*

Siapa yang tidak mengetahui peristiwa penting pada 28 Oktober 1928? Adanya peristiwa tersebut melahirkan sebuah rumusan yang menjadi identitas nasional dan selalu digadang-gadang menjadi simbol persatuan pemuda bahkan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketika itu, semangat untuk bersatu didasari kuatnya keinginan untuk terbebas dari belenggu penjajah. Jika dihadapkan pada kondisi saat ini, masihkah semangat itu ada?

Dalam alenia pertama naskah sumpah pemuda yakni sumpah untuk bertumpah darah satu, tanah air Indonesia seola-olah sudah tidak memiliki makna. Hal tersebut terbukti dengan  maraknya kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Padahal bait pertama sumpah pemuda tersebut merupakan wujud dari perjuangan untuk menjunjung tinggi tanah air Indonesia.

Bulan April lalu, terjadi kasus pelecehan terhadap seorang anak perempuan usia 14 oleh tiga orang siswa SMU di Pontianak. Selain itu, anak perempuan tersebut juga diserang secara fisisk. Kasus tersebut berhasil menggemparkan media sosial. Pada akhir terjadi kasus pelecehan seksual terhaadap 15 siswa usia antara 13 dan 14 tahun di Aceh. Polisi menangkap dua orang laki-laki pekerja di Sekolah Islam yang diduga sebagai pelaku. Masih di bulan yang sama terjadi kasus perploncoan dalam pekan orientasi di Sekolah Militer di palembang. Kasus tersebut mengakibatkan seorang siswa berusia 16 tahun meninggal dunia di rumah sakit setelah beberapa hari di rawat.

Dua bulan yang lalu, sumpah berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia mulai dipertanyakan dengan adanya peristiwa rasisme terhadap warga Papua. Padahal sumpah tersebut menggambarkan kuatnya ikatan persaudaraan dan saling toleransi tanpa membeda-bedakan ras atau suku. Peristiwa seperti itu sudah sering menimpa Bangsa Indonesia, bahkan menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihindarkan. Contoh sederhana yang sering terjadi adalah masih adanya perselihan mengenai cara pandang, cara beribadah, dan lain-lain yang dijadikan alasan untuk mengikis toleransi dan menghilangkan nilai yang ada dalam alinea kedua tersebut.

Lalu, bagaimana kabarnya dengan alenia ketiga? Baik-baik sajakah?.kalau memang bahasa menjadi pemersatu bangsa, masih ingatkah dengan kasus-kasus seputar ujaran kebencian? Di awal terbentuknya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, salah satu pelaku yang ditangani adalah Roni Yatsman. Di akun Facebook bernama Agus Hermawan dan Yasmen Ropi, ia menggunggah sebuah konten yang berisis penghinaan kepada pemerintah dan juga presiden Jokowi. Ia mengedit sejumlah foto pejabat termasuk Ahok. Atas perbuatan tersebut ia divonis 15 bulan penjara.

Kelompok Saracen banyak mendapat sorotan mullai pertengahan 2017. Kelompok tersebut menggunggah konten yang berisi ujaran kebencian pada kelompok tertentu. Beberapa postingannyapun menyinggung mengenai sentimen ras, agama, suku, dan antar golongan.  Polisi telah menetapkan empat orang tersangka yakni, Jasriadi, Mohammad Faisal Todong, Sri Rahayu Ningsih, dan Muhammad Abdullah Harsono. Mereka menyebarkan konten berisi  ujaran kebencian serta berbau SARA di medsos dengan tarif Rp 72 juta. Mereka menggunakan media Grup Facebook Saracen News, situs Saracennews.com, dan saracen Cyber. Teamri dan Faisa ditangkap lebih dahulu karena mereka mengunggah konten yng serupa di akun Facebook pribadi milik mereka. Sri menghina  Jokowi dan pemerintah. Sementar Faisal menudingan Jokowi adalah keluarga dari PKI melalu unggahan sebuah gambar. Faislpun menyinggung fraksi yang pro dan kontra terhadap ambang batas parlemen serta ajaka menjatuhkan partai tertent. Terdapat pula  konten  penghinaan kepada Polri dan Kapolri.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemuda yang seharusnya melestarikan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia justru sudah mulai terinfeksi virus Western. Mereka dengan bangganya mengaku pandai Bahasa Western namun kebingungan apabila dihadapkan dengan Bahasa persatuannya. Tidak sedikit dari mereka justru merasa malu apabila bersosialisasi dengan terus menggunakan Bahasa Indonesia. Lantas, siapakah yang memiliki kewajiban menjaga serta melestarikan bahasa persatuan?.

Dengan banyaknya kasus-kasus diatas, semua Alenia yang ada dalam sumpah pemuda seolah-olah sudah tidak memiliki arti. Bahkan seperti sudah mulai dilupakan. Semua orang mencari titik nyaman dalam kehidupan individualnya tanpa pernah menyoal negaranya. Memprihatinkan memang. Jika semua orang sudah melupakan makna Sumpah pemuda, apakah sumpah pemuda benar-benar harus dihilangkan keberadaanya?. Harapan terbesar untuk membangkitkan kembali sumpah pemuda ada pada pemuda itu sendiri. Perlu adanya refleksi terhadap makna makna yang terkandung dalam tiap Alenia dan tentunya juga harus diimbangi dengan memulai sebuah perusahaan melalui tindakan nyata dari seluruh elemen masyarakat jika memang sumpah pemuda masih diinginkan serta dibutuhkan untuk Bangsa Indonesia. (*)

*Penulis adalah Ketua Forum Kajian Hukum Mahasiswa Islam Korkom Walisongo Semarang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com