Oleh: Miftakhul Falah*
Layaknya tahun-tahun sebelumnya, pada tanggal 10 November, kita merayakan Hari Pahlawan. Hari untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa dalam mendirikan dan memperjuangkan lahirnya Negara Indonesia secara seremonial. Padahal seharusnya dalam mengingat perjuangan para pahlawan tidak hanya sekali dalam setahun saja, tetapi harus dilakukan setiap harinya.
Momen ini sejatinya tak hanya mengenang para pahlawan bangsa saja dalam melawan penjajahan. Akan tetapi, momen ini juga memberikan kesadaran kepada kita, para penerus bangsa, untuk senantiasa melanjutkan semangat perjuangan, mengisi kemerdekaan dan mempertahankan keutuhan NKRI dengan segala dinamikanya. Dalam memperingati Hari Pahlawan ini bagi generasi Millenial tidak serta merta harus berperang, namun dengan melakukan kegiatan positif seperti patuh terhadap hukum yang ada, berprestasi, pengabdian terhadap masyarakat dan kegiatan positif lainnya.
Derasnya arus globalisasi dan revolusi industri yang kini telah sampai level 4, menjadi awareness bersama dalam mempertahankan keutuhan bangsa dan negara. Terutama mengenai masuknya paham-paham radikal dan terorisme yang secara hebat menyusup kedalam negeri ini.
Ancaman Radikalisme dan Terorisme
Menyitir tulisan Agus SB dalam buku Deradikalisasi Nusantara (2016), radikalisme adalah paham radikal yang menghendaki perubahan secara drastis atau fundamental reform dengan kecenderungan menggunakan kekerasan. Radikalisme sesungguhnya merupakan konsep yang netral dan tidak bersifat peyoratif (melecehkan). Karena perubahan yang bersifat radikal bisa dicapai melalui cara damai dan persuasif, tetapi bisa juga dengan kekerasan.
Radikalisme sebenarnya memiliki makna yang netral, namun ketika disandingkan dengan terorisme, maka radikalisme berubah konotasi menjadi negatif. Makna radikalisme sangat bergantung pada konteks yang mengikutinya. Radikalisme dalam terorisme sudah jelas merupakan kekerasan. Namun dalam konteks pemikiran atau gagasan, radikalisme bukan merupakan kekerasan, sehingga tidak menjadi persoalan sejauh tidak diikuti oleh tindak kekerasan.
Menengok ke beberapa tahun terakhir, perkembangan radikalisme dan intoleransi di Indonesia kian mengkhawatirkan. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi global yang ditumbuhkan oleh beberapa kelompok dengan semakin meluas dan masif sejalan dengan revolusi informasi 4.0. hal ini bisa dilihat dari data Kemenhan per Juli 2019, sekitar 23,4 persen mahasiwa setuju dengan jihad dan memperjuangkan negara Islam atau Khilafah, sedangkan di tingkat SMA sekitar 23,3 persen (news.detik.com).
Sementara itu 18,1 persen pegawai swasta mengatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Data Kementerian Dalam Negeri yang mengutip hasil survei lembaga Alvara Strategi Indonesia pada Oktober 2017 yang menyatakan 19,4% Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau kini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak setuju dengan Pancasila dan lebih percaya dengan ideologi Khilafah. Di sisi lain, Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyebut 41% atau 41 dari 100 masjid milik kementerian, lembaga, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah terpapar paham radikalisme (jabar.tribunnews.com).
Data tersebut menunjukkan ancaman nyata yang hadir di depan mata. Bila dicermati, akar masalah munculnya radikalisme berpangkal pada ideologi. Walaupun memang faktor ideologi ini tidak berdiri sendiri, ia bersahutan dengan faktor pemicu yang multivariabel. Menurut Agus SB, jika ideologi tidak bertemu dengan faktor pemicu yang serba kompleks, maka aksi terorisme akan sulit untuk terjadi. Faktor pemicu tersebut berupa keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan dan rendahnya sosial budaya seseorang akan memicu radikalisme yang bisa berujung pada terorisme.
Pahlawan Deradikalisasi
Merebaknya paham radikal dan terorisme tampaknya semakin masif dengan mengikuti perkembangan zaman. Misalnya dalam hal perekrutan anggota kelompok radikal, saat ini tidak harus dengan pembaiatan secara langsung. Namun juga dapat dengan memanfaatkan teknologi video call. Dalam mempelajari praktik radikal juga dilakukan secara online. Dalam gerakannya pun, sekarang ini tidak dilakukan secara berkelompok. Tetapi mereka menggunakan strategi perorangan dan keluarga atau yang dikenal dengan strategi sel. Inilah yang menjadikan radikalisme dan terorisme sulit untuk dihilangkan.
Dalam menghadapi radikalisme dan terorisme, pemerintah telah melakukan berbagai cara. Pendekatan keras (hard approach) dengan pengerahan kekuatan bersenjata dapat dilakukan untuk menghadapi aksi terorisme yang masif. Kemudian ada cara pendekatan lunak (soft approach) yang lebih mengutamakan metode persuasi terhadap kelompok radikal, terutama yang masih dalam ranah pemikiran yang keliru.
Kedua pendekatan ini dianggap hanya melakukan tindakan kuratif saja. Sedangkan tindakan preventif dan antisipatif terhadap latar belakang munculnya radikalisme dan terorisme kurang diperhatikan. Dalam hal ini, semua elemen bangsa berkewajiban untuk membentuk “benteng” yang kuat untuk membendung dan menangkal arus deras munculnya paham radikal. Dalam momen Hari Pahlawan ini, mari bersama-sama merefleksikan semangat para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Perjuangan yang dihadapi bangsa sekarang memang agak pelik karena kita melawan bangsa sendiri yang radikal, bukan lagi para bangsa penjajah. Semua orang berkewajiban untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara dengan semangat juang tinggi yang diwariskan dari para pahlawan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bi shawab. (*)
* Penulis Adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Dan Mahasantri Pondok Pesantren Bina Insani Semarang