Oleh : Buni Hikmawati*
Beberapa hari belakangan ini, banyak wilayah di Indonesia yang terguyur hujan lebat. Tak sedikit yang mengalami kebanjiran karena intensitas hujan yang tinggi. Beberapa kota besar yang tak siap akan kedatangan bencana alam ini kocar-kacir dalam menghadapinya. Banjir yang merendam ratusan rumah di beberapa wilayah di Indonesia ini membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tinggalnya. Tenda atau posko pengungsian banyak didirikan untuk sementara menampung korban banjir.
Diawal tahun 2020, rakyat Indonesia disuguhi genangan air yang melimpah. Kemarau panjang tak berkesudahan yang membuat beberapa daerah mengalami kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih telah terjawab. Hujan deras tak kunjung reda hari demi hari membuat liburan awal tahun suram. Tak hanya liburan yang tak terlaksana, banjir juga membawa kerugian. Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana alam ini diantaranya : rumah hancur bahkan hanyut terseret banjir, kerusakan barang-barang, hilangnya perabotan rumah, aktivitas terkendala, kesehatan terganggu dan lain sebagainya.
Fenomena alam ini memang tak boleh disalahkan. Kitalah yang seharusnya siap menerima kedatangan banjir. Kita harus siap siaga jauh-jauh hari agar tak terjadi hal yang lebih parah. Kita yang dimaksud disini adalah masyarakat Indonesia secara menyeluruh termasuk pejabat pemerintah. Kita memiliki badan/lembaga yang mampu memprediksi cuaca yang akan terjadi. BMKG sesuai dengan tugasnya mengelurkan peringatan tentang potensi hujan maupun cuaca ekstrem. Selain itu, BNPB biasanya akan menghimbau masyarakat untuk waspada akan potensi banjir. Hal itu kiranya menjadi pertimbangan pejabat pemerintah untuk melakukan anstipisasi awal. Bukan malah saat air sudah menggenang dimana-mana pemerintah baru mengadakan rapat untuk memecahkan solusinya.
Tingginya volume air di beberapa tempat menjadi trending topic belakangan ini. Berita di televisi, media masa maupun media sosial menayangkan musibah yang terjadi saat musim hujan tersebut. Banjir Jakarta menjadi salah satu sorotan yang dibicarakan banyak kalangan. Banyak kritikan, tuntutan, bahkan analisis-analisis yang bermunculan. Menuntut pemerintah tentunya menjadi hal biasa, karena dirasa sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Adanya musibah banjir juga diiringi kemunculan relawan-relawan. Mereka yang merasa iba atas penderitaan para korban banjir hadir untuk sedikit membantu. Makanan, pakaian maupun uang disalurkan untuk meringankan saudara-saudara yang terkena musibah. Para pemuda dari kalangan mahasiswa ataupun organisasi sosial mengambil peran karena mereka merasa tergerak hatinya tanpa harus menunggu birokrasi. Rasa kemanusiaan yang gampang tergerak hatinya itulah yang sering disebut Bleeding Heart.
Para selebritis biasanya ikut andil untuk menjadi relawan. Entah tujuannya untuk pansos (panjat sosial) atau memang rasa “bleeding heart”. Setidaknya mereka menjadi dermawan untuk ikut menyumbangkan hartanya. Para pejabat pemerintah juga turut terjun untuk meninjau daerah banjir, meskipun terkadang ada yang hanya sekedar melihat-lihat, foto bersama, kemudian diungguh ke media sosial agar terlihat kerjanya setelah itu meninggalkan lokasi.
Penanganan banjir menjadi tanggungjawab kita semua. Masyarakat bersama-sama dengan pemerintah hendaknya bersinergi untuk terus merawat lingkungan, menjaga sungai agar tak tercemar sampah, menjaga saluran air agar tak tersumbat dan melakukan hal-hal lain yang dapat mengatasi banjir jika sewaktu-waktu terjadi. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Politik dan Kewarganegaraan (PKN), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Semarang.