Oleh: Dicke Muhdi Gailea*
Pemerintah Pusat hari-hari ini mulai merumuskan beberapa kebijakan untuk menangani dampak dari Covid-19, menekan angka penurunan penyebaran virus ini dengan kebijakan yang kita kenal dengan PSBB yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar hingga yang terbaru adalah persiapan pemberlakuan New Normal demi kelangsungan ekonomi dan kelancaran aktivitas masyarakat luas. Delegasi kewenangan dalam menangani suatu wabah menular pada umumnya bisa dijumpai dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kementerian Kesehatan harusnya menjadi garda terdepan dalam pengambilan keputusan per-hari ini, begitu ketentuan yang berbunyi dalam undang-undang tersebut.
Banyaknya tumpang tindih kebijakan di lapangan kemudian berbuah ketidakpastian hukum bagi masyarakat di daerah dan pada umumnya, sebagaimana yang dilansir oleh Kompas.com 29 April 2020, bantuan sosial dari Pemerintah Pusat terlambat tiba di lokasi hanya karena persoalan pamflet dan stiker yang bertuliskan “Bantuan Presiden” belum selesai dicetak. Harusnya kementerian kesehatan memiliki fungsi yang lebih dominan dalam menentukan kebijakan khususnya dari segi kesehatan dan kelangsungan hidup, hari ini mengapa banyak tumpang tindih karena masing-masing kementerian hendak menentukan jalannya sendiri sehingga kebingungan tersebut menurun hingga ke kinerja berbagai instansi di daerah khususnya dinas-dinas terkait.
Pandemic Covid-19 belakangan ini menjadi keresahan sebagian besar masyarakat dikarenakan jumlah yang terjangkit virus semakin naik dan pola penanganan pemerintah dinilai tidak pro rakyat, terbukti ketika kejadian dimana seorang ibu bernama Yuli di Banten meninggal dunia karena tidak mendapat bantuan dan tidak makan selama 2 hari, di satu sisi pada awal-awal merebaknya virus ini anjuran dari pemerintah adalah stay at home atau work from home (WFH), hal ini tentunya tidak senada dengan pekerjaan masyarakat yang bekerja secara harian, salah satunya adalah keluarga dari ibu Yuli tersebut merupakan bukti bahwa negara abai terhadap kemanusiaan.
Kota Ternate sebagai salah satu daerah yang juga sempat memberlakukan PSBB kini mulai menyesuaikan kebijakannya dengan arahan dari pemerintah pusat, tidak ada salahnya sebab kepala daerah adalah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah sebagaimana ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Dari alur potifisme hukum memang benar demikian, namun hukum bukan sekedar kebijakan dan atau undang-undang saja, hukum lebih jauh dari itu terdapat kultur, eksistensi genderisasi yang hidup di dalam masyarakat, terdapat moral yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Terlebih lagi pada sejumlah rumah sakit rujukan khusus penanganan Covid-19 memberlakukan protokol kesehatan yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia sebab segala bentuk penyakit dan keluhan yang diterima di rumah sakit tersebut atau pasien dengan sakit tertentu yang kemudian dirujuk dari rumah sakit lainnya di wilayah Malut kemudian ditangani menggunakan protokol penanganan Covid-19.
Kondisi minsdet masyarakat yang masih terbatas-pun tidak bisa disalahkan karena dari awal virus ini terdeteksi di Ternate sampai hari ini Pemerintah Kota Ternate tidak melakukan sosialisasi secara berkala agar masyaraat menjadi paham dan mudah diatur. Salah satu kebijakan yang dinilai bermasalah adalah pemberlakuan new normal oleh Pemerintah Kota Ternate, berbagai akademisi di bidang kesehatan menilai bahwa Ternate belum pantas untuk diberlakukan new normal bagimana tidak, pelbagai kisruh terjadi mulai dari tidak transparannya tim gugus tugas kota maupun provinsi di Maluku Utara terhadap data dan perkembangan Covid-19 hingga model penanganan pasien yang kemudian imbasnya pada tertukarnya pasien antara yang di vonis positif dan yang negatif. Transparansi informasi dari tim gugus tugas dan juga rumusan regulasi yang tidak sesuai kebutuhan-pun menjadi pertimbangan tersendiri untuk memberlakukan new normal di kota Ternate. Hak masyarakat untuk diperiksa kesehatannya menjadi tersendat dikarenakan space di rumah sakit sudah diperuntukkan bagi pasien dengan gejala Covid-19.
Rumusan kebijakan Pemkot Ternate melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana bunyi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan khususnya ketentuan Pasal 5 yang termaktub didalamnya bahwa rumusan kebijakan pemerintahan harus bersandar pada asas legalitas dan prinsip hak asasi manusia serta AUPB. Walikota Ternate sebagai ketua tim pengarah sampai hari ini tidak mengeluarkan sikap atau suatu kebijakan resmi yang bersifat responsif dan tune in serta dirasakan oleh sejumlah masyarakat akar rumput (grass root). Ternate belum pantas untuk kemudian diberlakukan new normal mengingat masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, pusat-pusat perbelanjaan masih rame dengan pengunjung, kekurangan alat kesehatan, belum lagi distribusi obat-obatan yang kerap habis di berbagai apotik, kesiapan suprastruktur kota masih jauh dari kata siap. Peran serta Walikota Ternate tidak pantas dijadikan contoh sebagai seorang kepala daerah, ignorantia excusatur non ignorantia excusatur juris sed facti. (*)
*Penulis adalah Direktur Pendidikan dan Pelatihan Hukum Bakornas LKBHMI PB HMI