Ngomong Politik Mulu: Berpikir Sederhana atau Menyederhanakan Pemikiran?

Oleh: Bowo Setyawan*

Hidup tak perlu banyak keinginan yang muluk muluk. Hidup itu sederhana saja, supaya tenang dan tak banyak masalah.

Yup! kata-kata sejenis yang begitu itu pasti sering kita dengar.  Dari siapa lagi kalau bukan dari para pendakwah, agamawan, alim ulama, orang bijak, motivator, intelektual, akademisi hingga politisi.

Soal “konsep berpikir sederhana itu” kalau dipikir-pikir muaranya ternyata tak jauh beda. Ya, siapapun yang ngomong. Semuanya ingin masyarakat Indonesia hidup tentram. Sederhana atau bahasa lainnya bersahaja diyakini adalah representasi dari hidup tenang dan bahagia.

Maka dari itulah tak heran, jika pada setiap momentum politik  yang namanya Pemilihan Umum (Pemilu) semu calon pemimpin juga akan menjanjikan hal sederhana. Silahkan Cek, pasti apapun visi misi program dan janji janji kampanye para peserta Pemilu, so pasti intinya “Pingin mensejahterakan Rakyat”. Sederhana bukan?

Tapinya nih, Pemilu itu senyatanya ajang para politikus ‘bertarung’ dan kebablasan. Enggak peduli pra, hari H sampai pasca Pemilu tarungnya enggak kunjung kelar. Pemilu baru selesai dah langsung mikir pemilu 5 tahun mendatang. Ada kubu yang menyebut diri bagian pemerintah dan lainnya menyebut oposisi. Tapi sama sama berbagi isi kuali, _eh_ maksudnya meski beda kualisi tapi tunjangan dan gaji sama sumbernya.

Keduanya juga sama-sama membuat otak rakyat berpikir sederhana. Mereka kompak membangun kesimpulan super sederhana. Misal nih, yang oposisi bilang, kalau setelah penguasa terpilih dan hasilnya masih tidak sejahtera, berarti karena rakyat salah memilih pemimpin dan otomatis si pemimpin terpilih pasti tak luput dari cap biang kesalahan.

Artinya 50 % + 1 rakyat Indonesia  salah (saya enggak mau bilang dungu lho).  Dah gitu ya, kok ada yang ngaku  cerdas, visioner, revolusioner dan apalah lagi namanya.  Tapi mereka selalu di sisi yang kalah. Ini apaan sih?! masa orang cerdas kalah sama orang yang tidak pandai? Kalau logika ini yang terbangun, maka sia-sia dong orang pada sekolah. Buat apa APBN untuk memajukan pendidikan biar generasi bangsanya pandai?

Ada yang absurd lagi. Misalnya yang kalah ngakunya karena enggak punya duit, bukan  karena enggak cerdas! Duh kok malah jadi melogikan cerdas berati enggak berduit? Kalau logika ini diikuti, buat apa cerdas tapi tak punya duit? Sekarang apa sih yang enggak pakai duit?

Tapi nih, faktanya siapapun Presiden, Gubernur, Bupati, anggota DPR maupun anggota DPDnya, Indonesia gini-gini aja. Maksudnya tetap menjadi negara yang belum masuk dalam jajaran negara maju.

Sayangnya, para pendukung pemerintah masih percaya diri ngomong negara kita makin maju. Di sisi lain ada juga yang bilang “enak jaman ku to?” (Masih enak di zamanku kan?).

Katanya kesejahteraan meningkat dan seterusnya. Terlepas apapun, itu hanya klaim dalam negeri. Faktanya Indonesia belum masuk kriteria negara maju seperti China, Amerika, Jepang, dan Korea Selatan. Negara yang sudah diakui dunia sebagai negara maju rakyatnya pasti lebih sejahtera dan itu sulit dibantah.

Dengan model Pemilu yang gitu dan hasinya gitu-gitu aja sepanjang masa, rakyat memang kadang dibuat berhalusinasi. Otak mereka selalu dijejali pikiran yang sederhana (bahasa halusnya sempit), “Kalau pingin sejahtera maka pilih pemimpin yang baik sesuai hati nurani”. Atau ada lagi kalimat paling populer “Satu suara Anda di Pemilu akan menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan”.

Jangan-jangan karena saat Pemilu aja disuruhnya pilih pake hati (enggak pakai otak), gimana rakyat enggak pada Baper? Tiap hari Ngompol (ngomongin politik) yang ujungnya beranten mulu. Gimana bisa mikir majukan ekonomi, orang gampang dibikin panas dan produktifnya cuma saling caci maki di Sosial Media?

Gimana enggak halu? Wong saat Pemilu propagandanya kalau pengen sejahtara 5 tahun ke depan  maka gunakan hak pilih saat Pemilu.

Kalau pingin sukses kerja keras, nabung, itu malah masuk akal. Ya enggak?

Okelah politik penting sebagai penentu kebijakan negara. Sepakat lah, karena itu argumentasi ilmiah.

Tapi masa iya, politik yang ilmiah lagi akademis maknanya sesederhana itu?

Masa Politik sama dengan rebutan jabatan atau kekuasaan?! 

Masa yang disebut melek politik yang mau jadi kader dan simpatisan parpol dan timses copras capres?!

Masa  jika ada rakyat yang tidak ikut jadi simpatisan, tidak jadi kader Parpol, tidak ikut jadi timses Cabub Cagub atau Capres disebut apolitis?!

Masa yang enggak mau ngeramein Pemilu disebut apatis?!

Sederhana sih sederhana, tapi apa faedahnya?   (*)

_Yogyakarta, 8 Januari 2022_

*Penulis adalah pekerja informal di Yogyakarta, tinggal di Bilangan Kapanewon Depok, Sleman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com