Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

oleh: Sanusi*

Salah satu parameter Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang demokratis adalah sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu. Ada dua jenis ketentuan pemilu dan satu kode etik yang perlu ditegakkan secara adil, dan tiga jenis sengketa pemilu yang wajib diselesaikan secara adil. Ketentuan dimaksud adalah Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Ketiga jenis sengketa pemilu adalah sengketa administrasi pemilu (sengketa terjadi ketika peserta pemilu/pasangan calon menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten-Kota), sengketa antarpeserta pemilu/pasangan calon, dan sengketa hasil pemilu/pilkada yang harus diselesaikan tepat waktu.

Maksud dari penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu/pilkada harus adil adalah karena salah satu asas pemilu demokratik adalah adil (Pasal 22E Ayat (1). Dimensi waktu yang disebutkan secara paralel dengan asas-asas pemilu demokratik adalah penyelenggaraan pemilu secara periodik. Asas penyelenggaraan pemilu secara periodik disebutkan dalam Pasal 22E Ayat (1) sebagai ”setiap lima tahun sekali”. Namun, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu ”tepat waktu” tak ada dalam Pasal 22E.

Terdapat dua aspek yang menjadi fokus perhatian dan pertanyaan dari semua pihak ketika hasil pemilu ditetapkan dan diumumkan oleh KPU (hasil pilkada oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten-Kota). Aspek pertama, apakah hasil pemilu/pilkada itu jujur, akurat, dan sepenuhnya sesuai dengan pilihan para pemilih (tidak ada kesalahan baik yang disengaja karena segala bentuk manipulasi maupun kesalahan yang tidak disengaja). Aspek kedua, apakah semua bentuk pelanggaran dan sengketa pemilu sudah ditangani secara adil.

Bila sebagian besar pemilih dan pemantau pemilu (domestik dan internasional) menilai hasil pemilu bebas dari kesalahan yang sengaja dan tidak sengaja, atau, mengandung kesalahan yang dinilai masih dapat diterima; dan semua pelanggaran dan sengketa pemilu telah diselesaikan secara adil, atau, sebagian besar pelanggaran dan sengketa pemilu yang dinilai bernilai strategik sudah ditangani secara adil, maka mereka akan menerima hasil pemilu/pilkada tersebut sebagai demokratis.

Dalam Electoral Justice: The International IDEA Handbook disebutkan bahwa pengertian dari electoral justice atau keadilan pemilihan umum (pemilu) meliputi sarana dan mekanisme yang menjamin bahwa proses pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan bertujuan untuk menegakkan keadilan pemilu. Termasuk di dalam mekanisme keadilan pemilu adalah pencegahan sengketa pemilu, mekanisme formal untuk menyelesaikan sengketa secara kelembagaan serta mekanisme penyelesaian sengketa informal atau alternatif. Penyimpangan apa pun dalam proses pemilu berpotensi menimbulkan sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dibedakan menjadi: Pertama, penyelesaian sengketa formal yang bersifat korektif, di mana putusannya akan membatalkan/mencabut, mengubah atau memperbaiki ketika terjadi penyimpangan; Kedua, penyelesaian sengketa yang bersifat punitif, di mana putusannya akan memberikan sanksi terhadap pelaku atas pelanggaran administrasi pemilu dan pidana pemilu; dan Ketiga, alternatif penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa dan lazimnya informal.

Sistem penyelesaian sengketa pemilu formal diimbangi dengan mekanisme penyelesaian sengketa informal atau alternatif. Tujuan utama dari mekanisme Alternatif  Penyelesaian Sengketa (APS) bukanlah menggantikan sistem penyelesaian sengketa formal melainkan untuk menjalankan peran pendukung, terutama dalam keadaan di mana sistem formal menghadapi kendala kredibilitas, finansial atau keterbatasan waktu yang terkait dengan politik atau rancangan kelembagaan yang kurang mumpuni. Bertolak belakang dengan mekanisme penyelesaian sengketa formal, APS memungkinkan salah satu atau lebih dari satu pihak yang berperkara untuk berinisiatif memulai proses penyelesaian. Proses tersebut bisa dilakukan secara sepihak (yang dinyatakan selesai jika pihak penggugat menarik gugatan), bilateral ataupun melalui pihak ketiga atau perantara.

Sistem Penyelesaian Sengketa Pemilu (PSP) yang formal di dunia dilengkapi dengan mekanisme dan cara lain untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Mekanisme yang dimaksud lazim disebut sebagai jalur informal atau mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu (APSP). Tujuan utamanya bukanlah untuk menggantikan sistem PSP formal melainkan untuk menjalankan peran pendukung terutama dalam situasi di mana sistem formal sedang dipertanyakan kredibilitasnya, adanya ketegangan atau keterbatasan finansial dan waktu akibat adanya kemelut politik atau kelembagaan atau karena perancangan sistem peradilan yang belum mumpuni. Berbeda dengan mekanisme PSP, mekanisme APSP membuka jalan bagi satu pihak atau lebih untuk memulai proses penyelesaian sengketa, yang bisa dilakukan secara unilateral (dengan cara menarik kembali tuntutan atau permohonan), bilateral dan melalui pihak ketiga atau suatu institusi perantara.

Beberapa mekanisme APSP yang telah dibentuk di dunia, dijalankan berdampingan dan berperan sebagai mekanisme pendukung yang permanen. Sebagian lainnya diselenggarakan secara ad hoc atau secara darurat dalam keadaan yang genting akibat krisis politik atau kegagalan lembaga peradilan yang telah ada dalam menjalankan mekanisme PSP formal. Mekanisme APSP sebagai pendukung yang permanen adalah yang paling umum dipraktikkan di dunia. Di negara-negara yang mempraktikkan, lazimnya mekanisme ini diselenggarakan secara permanen dan/atau disediakan sebelum pemilu, yang ditujukan sebagai alternatif dalam menyelesaikan sengketa pemilu yang potensial terjadi. Mekanisme APSP dilakukan dengan cara yang lebih sederhana dan dalam situasi yang informal serta tetap didukung oleh sistem PSP formal. Contoh APSP antara lain penggunaan konsiliasi, mediasi atau arbitrase di luar litigasi formal melalui pengadilan. Dalam penerapan APSP semacam ini, bukan serta merta menunjukkan kelemahan sistem PSP formal namun merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa secara lebih efektif dalam hal waktu dan biaya. Baik PSP dan APSP keduanya hadir berdampingan untuk saling melengkapi.

(*)

*Sanusi adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

41 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com