Meminimalisir Potensi Sengketa Wakaf

Oleh: Stephanie Eristadora*

Wakaf merupakan salah satu cara Islam dalam mendistribusikan kekayaan pribadi agar dapat dinikmati publik. Dengan wakaf, manfaat dari suatu harta (yang diwakafkan) dapat dirasakah oleh masyarakat untuk kepentingan publik sesuai peruntukannya. Filosofi wakaf adalah agar harta itu tidak disimpan, tetapi dimanafaatkan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.

Melalui wakaf membuktikan bahwa ajaran agama Islam mendedikasikan untuk membangun masyarakat yang adil secara sosial dan ekonomi. Harta tidak boleh menumpuk hanya pada segelintir orang. Hal ini pula bahwa agama Islam tidak menghendaki konglomerasi (berputarnya kekayaan hanya pada segelintir orang).

Wakaf sebagai institusi Islam yang sangat populis, namun juga berpotensi terjadi sengketa. Sebab, wakaf merupakan harta yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan syarat harta benda yang dapat diwakafkan adalah bernilai ekononomi, tahan lama, dan memiliki manfaat jangka panjang. Harta yang paling memenuhi kriteria tersebut adalah tanah. Wajar apabila mayoritas harta wakaf berupa tanah.

Sering terjadinya sengketa wakaf, sebenarnya lebih banyak karena pelaksanaan wakaf tidak sesuai prosedur seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Sengketa wakaf dapat terjadi karena prosesnya, dapat juga dalam pengelolaan atau pemanfaatan. Sengketa wakaf karena proses, umumnya karena wakaf dilaksanakan tidak sesuai prosedur sehingga tidak terferivikasi sejak awal tentang kepemilikan. Sedangkan sengketa karena pengelolaan atau pemanafaatan, dapat terjadi karena harta wakaf terfsebut kurang dikelola dengan baik, atau karena tdak ada biaya operasional sehingga terlantar.

Kasus sengketa wakaf banyak dan sudah banyak pula penelitian yang membahas. Contohnya yang ditemukan dalam beberapa hasil penelitian dan juga pemberitaan, yaitu sengketa wakaf  yang cukup menjadi perhatian banyak pihak yaitu tanah wakaf yang dikelola Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang yang berlokasi di Cakrawala Baru.  Sengketa sebenarnya sebenarnya bukan karena status hukum tanah tersebut, karena sudah bersertifikat. Perselisihan juga bukan karena pengelola (nadzir) ataupun gugatan dari ahli waris karena wakaf dilakukan sesuai prosedur. Sengketa terjadi karena penyerobotan oleh beberapa orang yang awalnya memanfaatkan tanah wakaf tersebut karena masih kosong. Semakin lama, orang-orang yang memanfaatkan tanah wakaf tersebut merasa telah menempati lama sehingga kalau diminta untuk mengosongkan merasa dirugikan secara ekonomi.

Sebagai nadzir, PDM juga mengakui bahwa salah satu penyebab masalah penghuni yang menempati lahan secara illegal adalah karena pengelola tidak segera memaksimalkan tanah wakaf. Penyebab tanah wakaf itu tidak segera dimanfaatkan oleh PDM adalah karena biaya. Sebab, wakif (orang yang wakaf) mewakafkan tanahnya yang kosong, peruntukannya untuk panti asuhan. PDM tentu harus mencari biaya atau bahkan wakaf baru untuk membangun panti asuhan. Hal ini tentu tidak mudah, sehingga menjadikan tanah wakaf tersebut terbengkalai.

Kasus ini juga perlu menjadi pelajaran dan bahan edukasi kepada mayarakat yang hendak mewakafkan tanahnya. Banyak orang yang mewakafnya hartanya yang berupa tanah yang peruntukannya sudah ditetapkan misalnya untuk sekolah. Padahal wakafnya tanah kosong. Berarti nazhir (pengelola wakaf) punya beban untuk membangun sekolah di tanah wakaf tersebut, dan perlu mencari wakaf baru atau menghimpun dana untuk membangun sekolah. Mestinya kalau mau wakaf untuk sekolah dalam pengertian bangunan sekolah, wakafnya sudah berupa bangunan sekolah. Nadzir tinggal mengelolanya. Apabila wakafnya berupa tanah kosong dan peruntukannya untuk pendidikan, mestinya tanah tersebut diproduktifkan yang hasilnya untuk operasional pendidikan yang sudah ada.

Kasus yang menimpa wakaf yang dikelola PDM Semarang di Cakrawala Baru cukup lama penyelesaianya. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari musyawarah, mediasi, melaporkan ke Aparat Penegak Hukum, hingga arbitrase. Hal ini tentu dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat mulsim yang hendak wakaf. Wakaf jangan hanya  dipahami sebatas anjuran agama sebagai ibadah yang pahalanya mengalir terus. Perlu edukasi  bahkan pendampingan agar wakaf dipahami lebih komprehensif, seperti pelaksanaanya harus sesuai prosedur, bagaimana peruntukannya agar bisa dimanfaatkan oleh publik. (*)

Dikutip dari berbagai sumber.

*Stephanie Eristadora adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

41 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com