Bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan yang penuh keberkahan, menjadi istimewa untuk untuk satu sama lain berbagi kasih dan sayang. Inilah bulan yang banyak difahami oleh kaum muslimin sebagai bulan saat Allah melimpahkan karunia dan ampunan-Nya bagi para hamba. Selama bulan istimewa ini setiap muslim saling membuka hati untuk berkarib diri dengan sesama dalam membangun semangat kebersamaan.
Bukankah selama ini dalam tradisi masyarakat begitu tumbuh suburnya orang-orang melakukan acara berbuka puasa bersama dengan mengundang karib-kerabat, sejawat, dan tak lupa disertakan hadirnya anak-anak dari keluarga miskin dan tak mampu, untuk satu sama lain duduk bersama dalam suasana yang penuh kemesraan. Mesra dalam nuansa ibadah,yang dari keterjalinanan hubungan kedekatannya itu mampu membuka pintu-pintu rahmah dan keberkahan di langit. Para malaikat pun melihat kejadian itu seraya memohon kepada Allah Swt. agar mereka yang duduk bersama dalam kesamaan hati yang lapang itu dibukakan pintu maaf dan keampunan.
Ini pulalah agaknya yang menjadi terjemahan bebas dari hadits yang popular di telinga kita yang menyebut, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan (kehati-hatian) maka terhapuslah dosa dan kesalahan yang telah lalu.” Artinya, terhapusnya dosa dan perbuatan salah itu bukan saja karena ia telah mengamalkan ibadah shaum semata, akan tetapi lantaran ia lengkapi pula dengan amalan lainnya, suatu perbuatan yang amat disukai Allah dan Rasul-Nya: memuliakan sesama.
Dalam merajut kasih-sayang yang bermula dari terbangunnya suasana hati yang berkeikhlasan itu, menjadi tepat manakala kita juga menyelaraskannya dengan lisan dan perbuatan. Ketika suasana hati begitu teduh dan terasa tenteram dalam menghadapi shaum maka lisan dan perbuatan pun sejatinya mengikuti. Jangan sampai terjadi ‘bentrok’ atau bertentangan di antara ketiganya. Maksud hati baik namun pengucapan atau penyampaian maksud kebaikan itu terasa kurang pas; begitupun dalam tindakan atau perbuatan
Keseimbangan antara hati, lisan, dan perbuatan dalam ruang kebaikan dan kebajikan inilah yang dikatakan sebagai bentuk dari kalimat iimanan wahtisaban: yang berpuasa dengan penuh keimanan dan perhitungan. Ini pulalah yang terberat dalam rumus berpuasa itu, karena puasa bukanlah sekadar melatih kemampuan menahan haus dan lapar belaka. Bahkan kalau cuma soal berhasil menahan haus dan lapar, betapa kita akan diingatkan oleh teguran Nabi SAW, “Betapa banyak di antara umatku yang berpuasa melainkan ia hanya mendapatkan rasa haus dan lapar belaka.” Padahal tujuan akhir dari ibadah puasa/shaum itu adalah tiada lain untuk mengantarkan para hamba beriman kepada suasana kehidupan yang teratur dan terpelihara. La’allakumtattaquun.
Orang-orang yang taqwa atau terpelihara itu adalah yang dalam dirinya terbangun rasa dan rajutan kasih-sayang nan penuh keikhlasan dalam menjalin pola hubungan antarmanusia, utamanya hubungan baik dengan kaum dhu’afa, agar kelak di yaumil akhir mereka, para penguasa, akan mengantarkan ke pintu surga.
Dengan terus merenungi di balik semarak Ramadhan,tanpa terasa,sudah hampir separuh bulan dilalui. Tentulah kebahagiaan selaku hamba beriman yang memenuhi panggilan ayat 183 surah Al-Baqarah itu sedemikian bersemayam di dalam dada dan pikiran ini. Menyahutinya dengan selaksa kegembiraan dalam mengamalkan ibadah shaum dan perbanyakan shalat-shalat malam serta amalan shalih lainnya.
(*)
*Mohammad Khamim adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasakti Tegal.