Korupsi sebagai Benalu

Oleh: Nur Hikmah*

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi lazim disebut sebagai extra ordinary crime. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak. Perlu tindakan intensif, dan semangat integritas yang tulus. Hanya dengan kesadaran bersama Indonesia dapat membebaskan diri dari belenggu korupsi. Apalgai bagi bangsa Indonesia, korupsi telah menggerogoti Indonesia selama bertahun-tahun, menyebabkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakatnya. Dengan kesadaran yang meningkat tentang dampak negatifnya dan upaya yang terus dilakukan untuk memerangi korupsi. Harapannya adalah Indonesia dapat melangkah maju menuju tatanan yang lebih bersih dan adil, di mana keadilan sosial dan ekonomi dapat dirasakan oleh semua warga negara. (Muhammad Saidi Fikri, 2024, https://www.kompasiana.com/

Perang melawan korupsi bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab semua. Perlu Masyarakat perlu bersatu padu bergandengan tangan melawan korupsi. Semua harus berani mengatakan “tidak” pada korupsi. Sebab ironis, justru ketua Komisi Pembarantasan Korups (KPK) justru terseret korupsi.

Namun demikian, apalah artinya masyarakat berteriak lawan korupsi. Sebab yang punya kesempatan melakukan korupsi adalah pejabat. Tentunya, pejabatlah, khususnya pejabat tinggi yang harus terdepan beranai mengatakan “tidak” pada korupsi.

Apalagi bagi bangsa Indonesia, korupsi sudah menjadi benalu yang menempel erat di tubuh bangsa Indonesia. Perilaku korupsi sudah menggerogoti sendi-sendi kehidupan, menggerogoti rasa keadilan, dan menghambat kemajuan bangsa. Ibarat penyakit kronis, korupsi telah menjadi benalu mematikan yang mencengkeram negeri ini sejak lama.

Dampak korupsi bagaikan racun yang meresap ke seluruh sendi kehidupan. Korupsi menggerogoti keuangan negara, menghambat pembangunan, dan menciptakan kesenjangan sosial yang lebar. Korupsi merampas hak rakyat atas pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, dan infrastruktur yang layak.

Lebih parah lagi, korupsi menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Korupsi memicu rasa frustrasi dan apatisme masyarakat, menghambat partisipasi dan kolaborasi dalam membangun bangsa. Masyarakat pun jadi pesimis dengan apapun program pemerintah.

Namun harapan Indonesia untuk terbabas dari korupsi tetap ada. Masih ada harapan khususnya di kalangan generasi muda. Semangat untuk melawan korupsi tentu tidak boleh padam. Gerakan-gerakan anti korupsi harus  terus dimunculkan. Semangat antri korupsi harus digaungkan.

Memang, pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen semua pihak. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta membangun sistem pencegahan korupsi yang efektif. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus memberi teladan perilaku anti korupsi. Sebaliknya, masyarakat pun harus aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah, melaporkan tindakan korupsi, dan membangun budaya anti korupsi di lingkungannya.

Mahfud MD   pernah mengatakan bahwa, hukuman yang pantas bagi para koruptor itu adalah hukuman mati. Pernyataan itu tidak sunyi dari kritikan, utamanya mereka yang anti pidana mati. Ada baiknya dan mungkin akan sedikit memberi efek jera serta dapat mengedukasi yang lain agar tidak melakukan korupsi. Sebab vonis hukuman mati terhadap koruptor sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja hukuman mati itu dilakukan jika ada koruptor melakukan aksinya dalam keadaan krisis. (Tempo, 7/1/2024).

*Dikutip dari berbagai sumber.

*Nur Hikmah adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

48 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com