Anak Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Harus Dilindungi

Oleh: Yustalitha Zita Anindya*

Anak korban tindak pidana kekerasan seksual, khususnya pemekosaan harus mendapatkan perlindungan. Perlindungan menjadi tanggung jawab bersama khususnya oleh pemerintah. Ada peraturan perundangan-undangan yang dapat dijadukan rujukan. Namun demikian perlu jaminan implementasi yang efektif serta dukungan berkelanjutan.

Setiap anak korban tindak pidana pemerkosaan harus mendapatkan perlindungan yang layak. Rehabilitasi, pendampingan hukum, dan reintegrasi sosial merupakan langkah-langkah krusial yang harus diambil untuk memastikan pemulihan yang menyeluruh bagi korban sehingga dapat hidup dalam lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.

Banyak kasus tindak pidana kekerasaan seksual yang dilakukan terhadap anak khususnya tindak pidana pemerkosaan. Anak korban tindak pidana pemerkosaan, secara hukum harus dilindungi. Perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan diatur dalam beberapa peraturan perundangan-undangan, yaitu:

Pertama, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan dalam undang-undang ini terdapat dalam Pasal 76D dan 76E yang melarang setiap orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak. Kemudian Pasal 81 dan 82 mengatur pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan ancaman pidana penjara yang berat.

Undang-undang tersebut menegaskan pentingnya perlindungan terhadap anak dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Selain perlindungan, juga memberikan memberikan panduan mengenai rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak korban kekerasan. Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan psikologis anak dari trauma.

Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Meskipun undang-undang lebih mengatur tentang larangan perdagangan orang, namun juga mencakup perlindungan terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Sebab, secara fakta banyak korban dari tindak pidana perdagangan orang adalah anak-anak baik untuk dipekerjakan maupun untuk ekslpoitasi seksual.

Anak memerpulkan perhatian dan perlindungan lebih. Sebab anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi. Salah satu bentuk kejahatan yang sangat mengerikan dan meninggalkan dampak psikologis serta fisik yang mendalam adalah pemerkosaan.

Ketika anak menjadi korban tindak pidana pemerkosaan, perlindungan hukum yang efektif dan komprehensif menjadi sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan pemulihan korban serta penegakan keadilan. Setidaknya ada 4 (empat) upaya perlindungan dan juga pemulihan menurut undang-undang.

Pertama, layanan kesehatan dan psikologis. Anak korban pemerkosaan harus mendapatkan perawatan medis segera untuk menangani luka fisik dan mencegah penyakit menular seksual. Konseling psikologis sangat penting untuk membantu korban mengatasi trauma dan stres pasca-trauma.

Kedua, pendampingan hukum. Anak korban berhak mendapatkan pendampingan hukum selama proses peradilan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sering kali menyediakan layanan ini.

Ketiga, perlindungan saksi dan korban. Anak korban pemerkosaan sering kali menjadi saksi dalam proses peradilan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban, termasuk dalam hal keamanan dan kerahasiaan identitas.

Keempat, rehabilitasi dan rreintegrasi sosial. Program rehabilitasi sosial dan reintegrasi sangat penting. Program ini  untuk membantu anak korban kembali ke lingkungan sosial mereka. Ini mencakup pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan emosional.

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana perkosaan bagi anak, yaitu stigma sosial, dan proses hukum yang panjang. Stigma sosial tidak dapat dihindarkan sebagai anak yang dalam tanda kutip “tidak gadis lagi”. Stigma ini tentu akan mengganngu pertumbuhan anak. Bisa jadi anak akan menjadi mider. Proses hukum juga terkadang memakang waktu yang relatif panjang juga bisa menjadi beban tambahan bagi korban dan keluarganya.

*Dikutip dari berbagai sumber.

 *Yustalitha Zita Anindya adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com