Renungan Pasca Haji

Oleh: Mohammad Khamim*

Para Hujjaj khususnya dari Indonesia sudah kembali ke tanah air. Raut kegembiraan tampak setelah melakukan perjalanan jauh, lama, dan juga melelahkan, akhirnya kembali ke tanah air tercinta. Sejak bulan lalu, bahkan ada yang sejak akhir Januari mereka sudah meninggalkan tanah air, meninggalkan sanak keluarga, dan harta benda yang mereka miliki untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Sebaliknya, raut kesedihan juga tampak. Mengepa sedih? Karena harus meninggalkan tanah suci dengan segala keutamaannya. Belum tentu Allah memberikan kesempatan untuk datang kembali ke tanah suci.

Seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji tentunya harus diikuti dengan perubahan sikap mental.Ibadah haji akan membuat pelakunya bertambah yakin akan kebenaran Islam. Sebab salat melakukan ibadah ini ia akan dapat menyaksikan langsung bukti-bukti kebenaran Islam.

Di sana para jamaah bisa menyaksikan megahan dan daya ma- gis Ka’bah yang menak- jubkan. Juga dapat menyaksikan makam Rasulullah Muhammad Saw. yang membawa manusia dari kegelapan ke alam sampai terang benderang  di Madinah Al Munawarah. Ada Gua Hira, Gua Tsur,ada Jabal Uhud. Pokoknya semua peninggalan dan jejak sejarah perjalanan agama Islam yang ditulis, dengan tinta emas sejarah Islam hingga sampai kepada kita. Selama menunaikan ibadah haji akan dapat kita temukan, dan kita hayati.

Perjalanan ibadah haji juga menyisakan pada kita sebuah kenangan yang sulit dilupakan.Kenangan sekaligus pengalaman dalam hidup dan kehidupan kita. Misalnya, ketika berkumpul di Padang Arafah,akan menumbuhkan kesadaran akan kemanusiaan. Di tempat tersebut seluruh jamaah haji dari seluruh belahan bumi ini berkumpul dan berinteraksi satu sama lain. Mereka sama-sama tunduk patuh dan merendahkan diri di hadapan Rabb-Nya, dihadapan Allah Swt, tanpa membedakan warna kulit, warga negara, kedudukan, partai politik, dan golongan. Semuanya sama- sama dengan menggunakan pakaian ihram, putih bersih. Semua sama-sama menengadah di hadapan Allah untuk memohon ampunan Allah, memanjatkan doa dengan segala pengharapannya.

Sepenggal pengalaman dalam perjalanan. hidup manusia yang sudah menunaikan ibadah haji itulah yang seharusnya menjadi titik awal untuk memperbaharui perilaku hidup dan kehidupan kita, dalam berumahtangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Predikat mabrur yang ingin dicapai oleh seorang yang menunaikan ibadah haji juga diuji di tengah-tengah kehidupan nyata pasca haji ini.

Seorang yang sudah menunaikan ibadah haji, yang sudah memperoleh predikat mabrur, dapat dianalisa dengan kasat mata oleh manusia di sekitarnya. Apakah dalam kehidupannya sehari- hari pasca haji orang tersebut makin tekun beribadah, makin dermawan dan rajin menyebarkan salam. Kalau jawabannya demikian, maka sebagian dari tanda-tanda kemaburan seorang jamaah haji dapat dilihat. Kedatangan kurang lebih 200.000 atau se-perseribu dari jumlah penduduk Indonesia yang pulang kembali ke tanah air ini sudah barang tentu bukan hanya diharapkan oleh sanak keluarga, dan kerabat dekatnya saja.

Seluruh bangsa ini menaruh harapan besar akan kiprah mereka. Para haji mabrur ini diharapkan menga- malkan ke-hajian mereka dalam kehidu- pan di belantara Indonesia yang saat ini tengah carut-marut. Para kafilah haji Indonesia tentu tidak sekadar ingin menambah titel “H” di depan namanya. Karena titel “H” itu membawa konsekuensi logis yang juga sangat berat. Merekalah yang seharusnya menjadi agen perubahan, sekaligus menjadi agen pendorong agar warga masyarakat di sekitar diri dan keluarga serta karib kerabat untuk lebih tekun beribadah, tambah dermawan, dan juga menebarkan salam. Di sinilah keteladanan para hujjaj dituntut setelah mereka pulang dari perjalanan ibadah haji dan juga untuk selamanya.

*Refleksi ini juga mengutip beberapa sumber.

*Mohammad Khamim adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com