Modus korupsi semakin canggih khususnya dalam menyembunyikan kekayaan hasil korupsi. Seiring semakin berkembang pesatnya teknologi, mata uang digital pun jadi pilihan bertransaksi. Salah satunya cryptocurrency. Koruptorpun dapat dengan mudah memanfaatkan kecanggihan teknologi ini sebagai sarana untuk mengamankan dan mencuci aset-aset hasil korupsi.
Cryptocurrency merupakan sebutan untuk mata uang digital yang dapat digunakan untuk transaksi antar pengguna tanpa perlu melewati pihak ketiga. Jika dalam transaksi bank berperan sebagai pihak ketiga, dalam cryptocurrency tidak demikian. Tidak ada yang berperan sebagai perantara, tapi langsung antar pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Salah satu contoh dari adanya mata coin cryptocurrency dan yang terbesar adalah Bitcoin. Saat ini, 1 Bitcoin seharga Rp 989,000,000,000. Nah, di Cryptocurrency bisa membeli Coin yang sifatnya stabil harganya.
Cryptocurrency memiliki sebuah akses kemudahan. Apabila dalam rekening bank harus menggunakan identitas asli, tidak demikian dalam cryptocurrency. Pengguna bebas menggunakan akun dengan identitas sesuai yang dikehendaki.
Pengguna memang disembunyikan tetapi semua orang dapat melihat semua transaksi yang dilakukian. Bukan hanya itu, kemudahan lain adalah tidak ada batasan atau aturan untuk apa transaksi cryptocurrency digunakan. Kemudahan cryptocurrency diutamakan juga karena bisa langsung bertransaksi dengan cepat ke manapun dan di manapun tanpa batasan aturan negara. Berbagai potensi kemudahan dari Cryptocurrency ini menjadi pola baru dalam hal menyimpan aset hasil korupsi. Contohnya kasus transaksi tersangka korupsi Rafael Alun Trisambodo yang menyembunyikan hasil korupsinya dengan membeli sejumlah Bitcoin.
Sebenarnya di Indonesia ada regulasinya yaitu Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 13 Tahun 2022 jo. Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto. Aset kripto di Indonesia dikategorikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan pada pasar fisik aset kripto. Aset kripto pun dapat disita sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun dalam prakteknya, terkadang Aparat Penegak Hukum (APH) masih kesulitan untuk melacak dan mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang melalui pola penyimpanan aset di Cryptocurrency. Beberapa faktornya penyebabnya adalah: Pertama, minimnya pengaturan regulasi mengenai aset kripto, khususnya terkait penyitaan aset kripto. Kedua, masih minimnya pengalaman serta pengetahuan dari aparat penegak hukum tentang aset kripto dan penanganannya.
Dengan kenyataan ini, penyimpanan asset hasil korupsi di cryptocurrency menjadi modus karena masih sulit dideteksi. Tentu saja para oknum pejabat yang korupsi akan terus berupaya menyembunyikan dengan berbagai cara. Selain di cryptocurrency bisa saja dengan menyimpan asset di bank luar negeri, membeli barang mewah atau mentransfer aliran dana ke keluarga atau kerabat. Semua dilakukan dengan tujuan penyamaran atau yang disebutsebagai pencucian uang.
Karena itu, dalam upaya memerangi korupsi khususnya pencucian uang, penting untuk terus meningkatkan pemahaman dan pengawasan terhadap penggunaan cryptocurrency. Perlu penguatan regulasi yang lebih ketat serta pelatihan intensif bagi APH. Kolaborasi antar lembaga penegak hukum, pemerintah, dan sektor swasta juga diperlukan untuk penindakan tindak pidana korupsi yang melibatkan cryptocurrency.
*Dikutip dari berbagai sumber.
*M. Naoval Adib adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal