YOGYAKARTA – Bau manis kacang hijau menguar dari dapur produksi Bakpia Jogkem di Gedong Kuning, Kamis siang itu. Sinar matahari menerobos kaca jendela, memantul di meja stainless yang dipenuhi adonan putih kenyal. Dari balik kaca, 58 kepala daerah anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) menatap penasaran.
Lalu, satu per satu mereka masuk, mengenakan celemek. Wakil Bupati Muna, Sulawesi Tenggara, La Ode Asrafil, yang biasanya memegang palu sidang paripurna, kini mencelupkan tangannya ke adonan. Lengan batiknya tersingsing, senyum tak lepas dari wajahnya. “Luar biasa,” katanya sambil menekan-nekan adonan. “Produksi seperti ini sangat menjanjikan bagi masyarakat.”
Arya Ariyanto, Direktur Utama PT Jogkem Grup, berdiri di tengah kerumunan, memandu proses. Para kepala daerah diajak menggulung adonan, menaruh isian kacang hijau atau cokelat, lalu membentuk bulatan bakpia yang seharusnya rapi. “Kalau dilihat, tampak mudah,” ujar Nanang Asfarinal, Direktur Eksekutif JKPI, “tapi setelah mencoba, ternyata butuh ketelatenan luar biasa.” Gelak tawa pecah ketika bakpia yang dihasilkan berukuran tak seragam—ada yang pipih, ada yang gembul.
Bakpia bukan sekadar makanan. Kudapan ini datang dari tradisi kuliner Tionghoa—bakpia pia—yang diadaptasi lidah Jawa sejak awal abad ke-20. Jogja mengolahnya menjadi oleh-oleh khas, dengan isian kacang hijau dan kulit tipis lembut. Jogkem, salah satu pemain muda dalam industri ini, memilih jalur kualitas: tanpa pengawet, dengan rasa manis yang disesuaikan selera kekinian. “Karena itu bakpia kami hanya bertahan tiga hari,” kata Arya.
Di tengah persaingan ratusan merek bakpia, Jogkem mencoba menautkan cita rasa dengan cerita. Mereka mengusung bakpia sebagai bagian dari warisan budaya, bukan sekadar barang dagangan. “Kami ingin tradisi ini hidup, tapi relevan dengan zaman,” ujarnya.Kunjungan ke Jogkem adalah agenda pamungkas Rakernas XI JKPI yang digelar tiga hari di Yogyakarta. Sebelumnya, rombongan telah menyusuri Candi Prambanan dan Candi Ijo. “Bakpia adalah identitas Jogja, sama seperti candi-candinya,” kata Nanang.
Bagi La Ode Asrafil, kunjungan ini punya arti strategis. Ia sudah membayangkan bakpia sebagai media diplomasi kuliner antarwilayah. “Insya Allah, kami akan bawa produk ini ke Muna. Bukan hanya menjual makanan, tapi juga membawa cerita Jogja ke daerah kami,” ujarnya.
Dari Jogja ke Kota Rempah
Rakernas JKPI tahun depan akan digelar di Ternate, Maluku Utara—kota pelabuhan yang dulu menjadi denyut perdagangan rempah dunia. Nanang menyebut Yogyakarta memberi teladan: bagaimana warisan lokal bisa diolah menjadi sumber ekonomi. “Jogja menjaga pusaka bukan hanya di museum atau candi, tapi juga di dapur dan pasar,” katanya.
Di dapur kecil Jogkem, para kepala daerah merapikan celemek sebelum berfoto bersama. Di meja, deretan bakpia yang baru keluar oven mengeluarkan uap tipis, memancarkan wangi gurih manis. Aroma itu, entah bagaimana, terasa seperti pesan: bahwa pusaka bangsa bisa tetap hidup jika ada tangan-tangan yang mau meraciknya, dari Sabang sampai Merauke. (Uli)