JAKARTA – Terkait adanya indikasi penyalahgunaan wewenang PT Angkasa Pura yang menalangi kerugian maskapai penerbangan Lion Air, Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) bersatu mendesak pemerintah segera mengaudit Lion Air yang diduga menumpuk hutang pajak dan hutang luar negeri.
“Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor : 2/ 22 /Pbi/2000 Tentang Kewajiban Pelaporan Hutang Luar Negeri, setiap Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang mempunyai Hutang Luar Negeri wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu secara berkala sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,” kata Ketua Umum FSP BUMN Bersatu, FX.Arief Poyuono ,SE dalam keterangan pers yang diterima jogjakartanews.com, Minggu (22/02/2015) siang.
Hal itu menurutnya penting untuk pengendalian moneter yang bisa berimbas pada nilai tukar rupiah terhadap dollar dan rating Negara pengutang bagi Indonesia serta stabilitas moneter untuk mengelola cadangan devisa dan kebijakan moneter yang akan diambil oleh BI dan pemerintah.
“Karena itu Lion air harus diaudit. Jangan sampai akibat Lion Air bangkrut dan membuat masalah bagi pemerintah. Sebab hutang luar negeri swasta juga bisa menjadi tanggung jawab pemerintah,” tekan Arief.
Arief juga mengungkap gelagat akan bangkrutnya Lion Air. Ia menilai ada kejanggalan dalam pembelian pesawat Lion Air sebanyak 100 unit dari 231 unit Boeing yang ada. Pembelian tersebut, kata dia, juga sudah memberikan 100 ribu lapangan kerja bagi orang Amerika, sehingga membutuhkan biaya operasional tinggi, namun pendapatan rendah.
“Dengan demikian tentu bukan hanya fasilitas kredit eksport yang didapat oleh Lion air (dari hutang luarnegeri,red) tapi juga untuk mengoperasikan Lion Air yang membutuhkan working capital sangat besar jumlahnya. Padahal, Lion Air menjual ticket dengan harga lebih murah dibandingakn airlines yang beroperasi di Indonesia,” bebernya.
Selain itu, Arief juga menengarai ada upaya Lion Air untuk mengemplang (memanipulasi) pajak Dengan banyaknya perusahaan penerbangan domestic dan JV dengan Malaysia dibawah bendera Lion Group seperti Malindo Air ,Batik air ,Wings Air dengan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar.
“Misalnya pembelian pesawat oleh Batik air dan Wing Air, Malindo Air dari Lion air pemegang hak 231 pesawat jenis Boeing seri 737-900 ER dan tariff ticket dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down). Tujuannya, untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah,” ungkapnya.
Diungkapkan Arief, ada indikasi Lion Air juga menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan, sehingga Negara bisa tertipu karena praktek transfer pricing.
“Karena itu Pajak Lion Air dan anak perusahaannya harus diaudit dikhawatirkan akan merugikan Negara,” tandasnya lagi.
Dikatakan Arief, keanehan bisnis Lion Air sebenarnya sudah mencuat sejak pemerintah SBY yang memberikan izin pembelian 231 Boeing 737-900 ER dan 234, serta Air Bus A320 tanpa memeperhitungkan kemampuan Lion Air dari sisi ketersedian semberdaya manusia, seperti Pilot dan Flight attendantnya yang mempunyai jam kerja terbatas oleh peraturan keselamatan penerbangan.
“Pasti ini ulah mafia di departemen perhubungan . sebab dari informasi yang ada saat ini 10 pesawat Lion air yang tidak bisa diutilisasi karena kekurangan Pilot dan Rute penerbangannya, jadi alasan delay pesawat Lion saat hari raya imlek kemarin (19/02/2015) karena pesawat rusak tidak bisa dibenarkan,” pungkasnya. (pr/ded)
Redaktur: Rudi F