YOGYAKARTA — Malam Sabtu di Tinalan, Prenggan, Kotagede, terasa berbeda. Lampu-lampu hias warna-warni menggantung di antara pepohonan ruang terbuka hijau kampung, memantulkan cahaya ke wajah-wajah sumringah warga RT 18 RW 04. Lelaki dan perempuan, tua dan muda, saling bergandengan, tertawa, lalu melangkah serempak mengikuti irama.
Bukan orkes dangdut, bukan pula band kekinian. Malam itu, 9 Agustus 2025, panggung sederhana mereka diisi denting gitar dan ketukan drum yang membangkitkan kenangan—Koes Plus-an. Lagu-lagu legendaris seperti Kisah Sedih di Hari Minggu, Layang-Layang, hingga Andai Kau Datang Kembali mengalun, mengikat hati setiap orang pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui.
Dari barisan penonton, ada yang ikut bersenandung lirih, ada pula yang tak ragu melompat ke depan untuk berjoget riang. “Ini bukan sekadar hiburan, tapi ajang kita saling merapatkan hati,” ujar seorang panitia dengan napas tersengal, baru saja turun dari panggung setelah ikut bernyanyi.
Acara ini memang dirancang bukan hanya untuk merayakan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, tetapi juga untuk meneguhkan kembali semangat persatuan dan kepedulian antarwarga. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, momen seperti inilah yang membuat jarak antartetangga lenyap, digantikan oleh tawa dan cerita yang mengalir ringan.
Ketika Layang-Layang mengalun, beberapa anak kecil ikut mengibaskan tangan seolah sedang menerbangkan benang di udara. Orang tua mereka tersenyum, mungkin teringat masa kanak-kanak di lapangan kampung. Sementara itu, di sudut lain, para ibu berswafoto, menangkap momen kebersamaan yang tak ternilai.
Malam pun semakin larut, tapi semangat warga tak kunjung pudar. Nada-nada nostalgia menjadi perekat, dan kebersamaan menjadi hadiah terindah malam itu. Tinalan tak hanya menggelar panggung musik, mereka menggelar panggung kehidupan—tempat di mana setiap orang merasa menjadi bagian dari satu keluarga besar. (Uli)