Hartanto: Isu SARA Jangan Dibesar-Besarkan

YOGYAKARTA – Munculnya kejadian yang berpotensi memicu perselisihan antar Suku, Ras, dan Agama (SARA) di beberapa daerah, termasuk di Yogyakarta, menimbulkan keperihatinan masyarakat. Terlebih kejadian tersebut kerap menjadi pemberitaan media massa.

“Isu SARA bisa jika dibesar-besarkan bisa menimbulkan akibat terpecah belahnya persatuan  sebagai bangsa Indonesia. Jadi kita wajib menghindarinya. Problem bangsa kita saat ini hanya akan bisa diatasi jika persatuan nasional kita semakin kuat, bukan malah terpecah belah,” kata dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Hartanto, SH. M.Hum dalam keterangan pers kepada jogjakartanews.com, Minggu (29/08/2015) siang.

Sebelumnya, ia menyampaikan hal yang sama saat menjadi pembicara dalam dialog publik Pemantapan Rasa Cinta Tanah Air dan Bangsa bagi Pemuda Kota Yogyakarta

di Asrama Mahasiswa Kepulauan Riau (KEPRI), di Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Sabtu (29/08/2015). Acara yang mengusung tema “Wawasan Kebangsaan Untuk Menuju Pemuda yang Beretika” tersebut  dihadiri mahasiswa berbagai daerah yang terhimpun dlam IKPMD.

Dalam kesempatan dialog publik tersebut, Hartanto juga sempat menyinggung media, terkait pemberitaan yang dapat memicu isu SARA. 

“Saya juga berharap rekan-rekan media perlu memiliki dan meningkatkam wawasan kebangsaan, salah satu contoh adalah, ketika menulis berita, terutama tentang konflik antar orang, tidak perlu menuliskan asal daerah, suku, atau SARA pada umumnya. Seperti yang baru-baru ini terjadi di kota Yogyakarta,” tukasnya.

Hartanto mengingatkan bahwa baik dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers maupun dalam kode etik jurnalistik, baik Kode Etik Jurnalis Indonesia (KEJI) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), jurnalis atau wartawan tidak boleh menuliskan berita yang berbau SARA.

“Saya sangat setuju setiap pelaku kejahatan layak dihukum pidana dengan tegas tanpa pandang bulu, namun dalam pemberitaan hendaknya asal daerah atau hal-hal yang memicu SARA  tidak perlu dituliskan, kecuali sampai suatu hari nanti seluruh masyarakat sudah memahami atau memiliki kesadaran bahwa stereotip tidak lah bijaksana,” imbuh Hartanto yang kandidat Doktor ilmu hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

Dalam wawasan kebangsaan, kata dia, setiap warga negara Indonesia dipandang sebagai satu bangsa yang satu dalam kebhinekaan, sebagai potensi kekuatan,

“Maka dalam segala bidang tidak dibenarkan menonjolkan perbedaan yang mengarah pada perselisihan, namun sebaliknya menonjolkan perbedaan sebagai keberagaman yang bermanfaat,” pungkasnya.

Sekadar informasi, selain Hartanto, pada kesempatan yang sama, hadir Danramil Umbulharjo, Kapten inf. Turut dan Motivator, Eric Saputra sebagai pembicara. Dalam pemaparannya keduanya menekankan betapa pentingnya menjaga nasionalisme dan menguatkan wawasan kebangsaan bagi generasi muda. (ffn)

Redaktur: Rudi F

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com