Meneropong Bahtera HMI di Luasnya Samudera Problem Kebangsaan

Oleh: Yan kurniawan*

KETIKA krisis melanda Indonesia saat ini, gaung gerakan mahasiswa tak lagi terdengar. Justru gerakan buruh yang kini tengah mengalami penyegaran kembali. Pertanyaan kemana gerakan mahasiswa, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)? Tentu menjadi sebuah kewajaran. Gerakan mahasiswa yang seharusnya menjadi garda depan perubahan seolah tenggelam.

Aksi mahasiswa 20 Mei yang lalu misalnya, hanya menyisakan kenangan para penggeraknya, petinggi-petinggi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang makan bersama Presiden di Istana Negara, dan terekam media paska Aksi. Setelahnya aksi mahasiswa hanya sporadis, dengan isu-isu yang tidak fokus membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat; harga kebutuhan melambung, daya beli turun, ancaman PHK Buruh, meroketnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar, supremasi hukum yang lemah, kepemimpinan nasional yang diwarnai oligarkhi politik kian jauh dari amanah untuk mensejahterakan rakyat.

Tuntutan gerakan mahasiswa dalam menyikapi kondisi politik dan ekonomi nasional, tak lebih hanya angin lalu yang tak di indahkan penguasa. Gerakan mahasiswa semakin miskin metode, sehingga tak lagi memiliki bargaining position yang kuat untuk merubah kebijakan penguasa yang semakin kentara ‘anti rakyat’!

Gerakan mahasiswa yang kian surut oleh kepentingan-kepentingan yang tak lagi berbasis isu kerakyatan, tentunya haruslah menjadi refleksi bagi HMI ke depan. Terlebih diusianya yang ke 68 tahun ini, HMI seharusnya semakin dewasa, semakin kokoh, dan semakin menunjukkan komitmennya untuk meraih cita-cita besarnya; mewujudkan masyarakat yang adil makmur, yang diridhai Allah SWT (lihat Pasal 4 AD HMI, tujuan HMI). Namun harus diakui bahwa HMI telah mengalami degradasi dalam mempertahankan tradisi gerakan dan intelektual. Performa HMI yang masih besar tak lebih karena bayang-bayang masa lalu, dimana telah banyak alumni-alumni HMI yang kini duduk di kekuasaan. Tapi dimana prestasi besar yang ditunjukkan kader-kader HMI?

Apakah yang disebut prestasi cukup hanya membawa Ketua Umum Pengurus Besar HMI (Ketum PB HMI) sekarang, Arief Rosyid Hasan menjadi salah satu nama yang masuk dalam 70 tokoh berpengaruh di Indonesia versi majalah Men’s Obsession? Apakah prestasi HMI ditunjukkan dengan peringatan Dies Natalis yang megah dengan disiarkan langsung TVRI dan dihadiri Wapres Jusuf Kalla yang kebetulan Alumni HMI? Apakah Prestasi HMI hanya ditunjukkan dengan dibangunnya Kantor PB HMI Baru dari dana Alumni yang lebih megah dan menggusur kantor PB HMI di Jl. Diponegoro yang bersejarah itu? Tentu tidak.

Dalam sejarah panjang HMI yang banyak ditulis alm. Kanda Prof. Dr. Agus Salim Sitompul, kita bisa lihat, bahwa out put HMI tidak hanya melahirkan alumni yang duduk di kekuasaan. Namun sebelumnya, saat menjadi kader, banyak kebijakan HMI yang memamng benar-benar mampu mempengaruhi, bahkan merubah kebijakan pemerintah yang tidak selaras dengan tujuan kemerdekaan.

Misalnya, seberapa berpengaruhnya Kanda Sulastomo dan Nur Cholish Madjid (Cak Nur) saat menjadi Ketum PB dalam mengontrol kebijakan Orde Lama dan Orde Baru. Kritik konstruktif dan solusi yang cerdas selalu diproduksi PB HMI saat itu. Gerakan intelektual kader-kader HMI mampu menjadikan HMI sebagai pemersatu Bangsa. Gerakan Sulastomo sebagai pemimpin organisasi mahasiswa Islam saat itu dalam melawan komunisme dan mengeluarkan Presiden Sukarno dari jeratan politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Sulastomo menjalankan dua pendekatan, pertama  politik konstitusional, yaitu mengacu kepada UUD 1945 yang ditetapkan kembali sebagai UUD  di masa Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Preside 5 Juli, 1959, setelah Sidang Konstituante gagal menyepakati dasar negara, dalam pilihan antara dasar Islam dan dasar Pancasila. Kedua     pedekatan kultural dalam menggalang persatuan di antara umat Islam, sehingga HMI menyatakan diri sebagai “pemersatu umat” yang tercantum  dalam dokumen  “Kepribadian HMI”yang ditulis oleh Sularso dan Sudjoko Prasodjo itu. Pendekatan politik konstitusional  Sulastomo dibantu oleh  Cak  Mar’ie, dalam bimbingan tokoh senior, A. Dahlan Ranuwihardjo, sedangkan dalam  pendekatan kultural ia dibantu oleh Cak Nur.   (M. Dawam Rahardjo:2013).

Keteladanan kedua pemimpin besar HMI tersebut saat ini memang bak tertelan bumi. Apakah karena kader-kader HMI saat ini tak lagi menganganggap penting menengok kembali sejarah HMI? wallahua’lam. Namun bagi penulis, sejarah HMI masih penting untuk dikaji dan relevan sebagai, paling tidak, referensi untuk mengembalikan HMI ke jalur yang benar sesuai tujuan HMI berdiri.

Sebagai kader HMI, tentunya penulis berharap, ke depan HMI akan lebih memilki bargaining position, serta nilai lebih bagi bangsa dan negara dalam menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi saat ini. Momentum Kongres HMI ke XXIX yang akan segera digelar di Pekan Baru, Riau mendatang diharapkan tak sekadar hanya fokus reorganisasi, memilih Ketum PB HMI baru, melainkan lebih kepada melakukan refleksi dan membuat perubahan besar demi membangkitkan kembali kejayaan HMI. Sebab, berkaca pada hasil kongres terakhir di Jakarta (Kongres ke XXVIII), yang konon merupakan kongres terlama sepanjang sejarah HMI, ternyata tidak melahirkan  perubahan besar yang lebih baik. Jumlah pengurus yang begitu gemuk tidak kongruen dengan capaian-capaian PB HMI dalam mewujudkan platform Ketum. Banyak program-program PB HMI yang tidak menyentuh basis. Klaim kuantitas kader dan cabang yang meningkat tidak diiringi dengan kualitas kader-kadernya.

Barangkali penilaian penulis memang subjektif. Namun, penulis merasakan betul, dinamika di PB HMI selama ini tidak terlalu berpengaruh kepada kader-kader di basis atau level komisariat. Bahkan tak sedikit kader-kader HMI yang tidak tahu siapa nama Ketum PB. Dengan demikian, wajarlah kiranya jika tidak pernah mengerti dan merasakan kebijakan-kebijakan PB HMI. Barangkali itu indikator sederhananya.

Figur Ketum PB HMI yang kuat jelas diperlukan untuk menjadi nahkoda bahtera HMI dalam mengarungi lautan yang dilanda badai. Oleh karenanya, dalam mengikuti pertarungan politik memperebutkan kursi PB 1 HMI  Kongres HMI ke XXIX mendatang, sedianya  kader HMI yang memegang hak suara harus benar-benar melihat kapabilitas figur kandidat. Visi – Misi dan program, jelas perlu dikaji. Sebab, Ketum PB HMI ke depan meniscayakan harus figur yang mampu menjabarkan persoalan-persoalan, menentukan metode dengan parameter yang aplikatif, dan dengan program – program kerja yang konkret.

PB HMI ke depan haruslah berkomitmen untuk mencetak kader berkualitas, menjadi insan cita sesungguhnya yang mampu mencipta dan mengabdikan diri demi kemajuan ummat dan bangsa yang diridhai Allah SWT.  Jangan sampai memilih figur yang hanya berdasarkan transaksional, seperti dalam perebutan kekuasaan di Partai Politik atau yang dicontohkan para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif saat ini. Hal itu sudah menjadi rahasia umum. Bukan saatnya lagi PB HMI klaim memiliki sumber daya besar, namun tak mampu menunjukkan kebesaran kontribusi konkretnya nya kepada rakyat, bangsa, dan negara. Yakin Usaha Sampai! [*]

* Artikel ini adalah pemenang ketiga sayembara menulis Karya Bagi Negeri dengan tema “Harapan Kader untuk Pengurus Besar (PB) HMI ke Depan Menuju Indonesia yang Lebih Baik”. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kader HMI Komisariat Dakwah Cabang Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com