PKI Sama dan Sebangun dengan Kebiadaban

 

YOGYAKARTA – Tokoh Reformasi 98, Prof. Dr. HM Amin Rais mengatakan, komunisme itu kongruen (sama dan sebangun) dengan kebiadaban. Menurutnya dimana ada rezim konumis berkuasa di suatu negara maka tidak akan segan-segan melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri.

“Komunis sama dan sebangun dengan kebiadaban. Rezim komunis semua membunuh” ungkap Amin saat menjadi pembicara diskusi dan Nonton Bareng (Nobar) Film G 30 s/PKI di Masjid Diponegoro, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Sabtu (30/09/2017).

Dijelaskan mantan Ketua PP Muhammadiyah, angka Iosef Dyadkin (publikasi Samizdat), peneliti sejarah Rusia yang menemukan angka 52,1 juta rakyat Rusia yang dibantai rezim Marxis, lalu Anthony Lutz yang mencatat 60 juta rakyat Cina yang dihabisi pemerintahnya, berjumlah 112, 1 juta orang.

“Jadi memang sudah ada faktanya. Pola komunisme PKI pimpinan aidit juga sama. Wajar saja, terlebih pengetahuan aidit tentang komunisme memang ecek-ecek jauh dari Soekarno. Paham yang salah dijalankan oleh orang yang ecek-ecek,” kata mantan Ketua MPR RI dalam acara yang dihelat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menurut Amin, PKI secara organisasi di Indonesia memang tidak ada. Namun penganut paham komunis ada di hampir semua lembaga negara, termasuk di TNI.

“Sekarang itu PKI bukan seperti dulu, kurus dan bersendal jepit. Tapi berjas dan berdasi. Ada yang di militer, mungkin ada yang jadi menteri atau di atasnya menteri,” sentil Amin disambut tawa ratusan Anggota KAHMI dan HMI yang hadir.

“Jadi siapa bilang sistem partai komunis sudah tidak ada? Komunisme benar-benar mati? Di China ada PKC (Partai Komunis China, red), di Rusia dan sebagainya. Jadi tidak mustahil PKI akan bangkit lagi, karena memang saat ini neo PKI itu tidak terlihat tapi nyata adanya,” tukasnya.

Sementara Brigjen (Purn) Adhitya Warman Thaha dalam kesempatan yang sama mengklarifikasi tudingan sejarah G 30 S/PKI tidak objektif karena kebanyakan ditulis jenderal-jenderal dari TNI.

“Saya kira tidak begitu. Rakyat Indonesia dimasa itu pasti menyaksikan juga kok, betapa PKI memang Kejam. TNI menuliskan laporan dan fakta-fakta dari masyarakat juga,” tegas purnawirawan jenderal yang pernah menjadi tersangka dugaan permufakatan jahat terkait aksi Bela Islam 212 ini.

Namun demikian, Adhitya juga tidak sepenuhnya menilai sejarah yang ditulis Orde Baru itu benar. Dia menurutnya, lahirnya Dwi Fungsi ABRI memang sesuatu yang dipaksakan Pak Harto

“Saya ketemu jenderal Nasution. Beliau sempat menanyakan  kok ada dwi fungsi? Padahal sebelumnya beliau menginginkan kekaryaan, dan disetujui Pak Harto. Jadi ABRI bertindak kalau ada masalah, setelah masalah selesai kembali ke barak. Tapi ternyata di balik Dwi Fungsi itu ada Jenderal Darsono, Pangdam Siliwangi yang berpikiran Sosialis. Nampaknya Pak Harto mendapat bisikan dari beliau,” bebernya.

Kembali ke soal Komunisme, kata dia,  versi sejarah yang ada menunjukkan adanya kekejaman pegiat PKI tidak bisa dibantah.

“Jadi tidak perlu dipersoalkan soal sejarah. Saat ini Komunis gaya baru memang ada, itulah musuh

musuh ummat Islam yang lebih besar dari sekadar Ahok kemarin. Sebab ada indikasi dalam struktur negara sendiri ada komunisnya. Memang ada pilihan menyikapi dengan revolusi fisik, Namun resikonya rakyat jadi korban. Jadi, banyak kalangan tokoh nasional lebih condong dengan cara konstitusional, yaitu agar dalam PILPRES 2019 mendatang memilih pemimpin yang dekat dengan ummat Islam dan mencintai bangsa dan negara Indonesia yang berpancasila,” imbuh Adhitya.

“Jadi benar apa yang disampaikan Pak Amin dan Pak Chum, Komunisme memang kejam dan tidak layak ada di Indonesia,” pungkasnya.

Di samping Amien Rais dan Adhitya Warman Thaha, hadir sebagai pembicara Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 1976 -1978, Drs. Chumaidi Syarif Romas, M.Si.  Selain Nobar, dan diskusi, dalam kegiatan tersebut KAHMI DIY juga membagikan kepada peserta buku Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Buku tersebut diterbitkan oleh sekretariat Negara RI Jakarta 1994. (kt1)

 

Redaktur: Ja’faruddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com