Mahasiswa UGM Inisiasi Gerakan Penanggulangan Resistensi Antibiotik

YOGYAKARTA – Resistensi terhadap antibiotik telah menjadi permasalahan kesehatan dunia dan kasusnya terus meningkat setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi terdapat 10 juta kematian akibat resistensi antibiotik pada tahun 2050.

Kondisi tersebut menggerakkan tiga mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada yakni Luh Rai Maduretno Asvinigita, Ris Heskiel Najogi Sitinjak, dan Shinta Diva Ekananda untuk menginisiasi gerakan Student National Action on Antimicrobial Resistance (SNARE). Program mulai diinisiasi pada pertengahan 2019 lalu dikembangkan di bawah bimbingan dosen farmasi, Dr. Susi Ari Kristina, S. Farm., M. Kes., Apt.

Ketua tim SNARE, Luh Rai menjelaskan melalui gerakan SNARE, mereka berupaya memperkenalkan skema inovatif dalam menyelesaikan masalah akses dan kesetaraan terkait literasi kesehatan dan edukasi resistensi antibiotik di Indonesia. Program ini berfokus pada utilisasi program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang terdapat di banyak perguruan tinggi di Indonesia, tidak terkecuali Universitas Gadjah Mada.

“Saat ini banyak perguruan tinggi di Indonesia memiliki program KKN yang akan menerjunkan mahasiswa ke daerah pinggiran dan terpencil untuk mengedukasi masyarakat setempat. Kita berharap bahwa SNARE dapat menjadi jembatan antara pemerintah yang merancang strategi penanganan resistensi antibiotik dengan mahasiswa sebagai eksekutor strategi tersebut,” paparnya.

Sebagai bentuk implementasi lebih lanjut, tim SNARE berencana untuk melakukan pilot project bersama beberapa tim KKN-PPM UGM di bulan Juli-Agustus 2020. Pilot project ini diharapkan dapat terlaksana di 5 daerah KKN yang tersebar merata di seluruh Indonesia. Nantinya, hasil yang diperoleh akan dijadikan sebagai dasar evaluasi bagi keberlanjutan gerakan ini.

“Gerakan SNARE akan memanfaatkan instrumen edukasi yang variatif disesuaikan dengan target edukasi,” tuturnya.

Najogi menambahkan untuk edukasi resistensi antibiotik pada masyarakat dewasa dilakukan melalui sosialisasi dan cek kesehatan dengan materi edukasi yang paralel dengan pemerintah pusat. Sementara edukasi terhadap anak-anak dilakukan dengan bantuan komik antibiotik dan kartu game.

Gagasan yang diusung ketiga mahasiswa muda ini tidak hanya menawarkan alternatif solusi dalam penanganan resistensi antibiotik di tanah air. Ide ini juga berhasil lolos masuk menjadi salah satu dari 10 finalis dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh WHO dan Jhon Hopkins University setelah berhasil melewati seleksi yang diikuti lebih dari 1250 orang dan 163 proposal ide kreatif dari 40 negara. Kesepuluh finalis mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan gagasan yang  diusulkan dan mengikuti workshop capacity building yang diadakan di Geneva, Switzerland pada akhir November 2019 lalu.

“Pada akhirnya, seluruh perjalanan SNARE berujung pada satu harapan yaitu agar mahasiswa turut berpartisipasi dalam menyuarakan isu-isu kesehatan dan proaktif untuk mengedukasi masyarakat lokal,” imbuh Shinta. (pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com