YOGYAKARTA – Penasehat hukum terdakwa dugaan korupsi dana hibah Koni Kota Yogya tahun 2013, Sukamto, Hartanto, SE, SH, M.Hum menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya tidak objektif dan cacat hukum. Dia meminta majelis hakim agar membebaskan kliennya dari segala tuntutan JPU tersebut demi tegaknya keadilan yang hakiki.
“Kami berharap, majelis bisa menilai secara lebih objektif terkait tuntutan JPU. Jelas dari fakta-fakta hukum di persidangan dan berdasar bukti-bukti yang kami ajukan, Pak Kamto (Sukamto, red), tidak memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana disebutkan saudara JPU dalam tuntutannya,” kata Hartanto kepada wartawan, Jumat (20/05/2016).
Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, kemarin (19/05/2016), pihaknya meminta majelis hakim agar membebaskan kliennya dari semua dakwaan.
“Kami meminta majelis hakim memutus bebas terdakwa dari segala dakwaan atau setidaknya melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum,” ungkap Hartanto, SH, M.Hum, penasehat hukum terdakwa.
Menurut Hartanto, kliennya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagai mana disebut dalam dakwaan primer, yakni melanggar pasar 2 ayat 1 juncto pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang perubahan UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Dakwaan jaksa penuntut umum terlalu dipaksakan karena tidak didukung bukti-bukti yang kuat. Jaksa banyak mengabaikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Belum lagi, jaksa menyusun dakwaan tidak dengan cermat, lengkap, dan jelas sehingga dakwaan menjadi kabur,” tukasnya.
Dikatakan Hartanto, kecerobohan Jaksa dalam tuntutan terbukti dengan tidak ada BAP dua saksi yakni Supardi dan Syok. Hal itu bahkan sempat menuai kritik Hakim Ketua, Barita Saragish, SH. MLL.
“Total saksi yang di BAP ada 138 orang penerima dana hibah, tapi yang dihadirkan hanya sembilan dan dua di antaranya malah tidak di BAP,” terangnya.
Karena itu, lanjut Hartanto, penasehat hukum meminta majelis hakim membebaskan terdakwa yang juga Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Kota Yogyakarta. Kemudian mengembalikan nama baik, harkat, dan martabatnya ke dalam kedudukan semula.
Sukamto sendiri menilai banyak kejanggalan sejak ditetapkan sebagai tersangka hingga dalam persidangan. Ia bahkan mengaku masih tidak habis pikir karena diganjar status terdakwa setelah menyelamatkan uang negara Rp7,4 miliar pada 2014. Terlebih, Jaksa dalam menetapkannya sebagai tersangka hanya berdasar pada surat kaleng.
“Saya tahu ada surat kaleng setelah diperlihatkan Wakil Wali Kota, Imam Priyono. Saat itu saya disebut akan segera menjadi tersangka,” ucap Sukamto.
Ia menambahkan, tuduhan bahwa dirinya memaksa memasukkan tiga mata anggaran tidak benar. Sebab, pengajuan anggaran pada tahap I resmi ditandatangani Ketua Umum Koni kota Yogya dan bendahara. Lalu terkait tuduhan korupsi 900 juta, juga tidak mendasari dari perhitungan lembaha yang berwenang, yaitu BPK.
“Selain itu penggunaannya sudah ada laporan pertanggung jawaban dari KONI yang disampaikan kepada wali kota dengan tembusan ke Kesbang Kota. Jumlah uang yang dilaporkan pertanggung jawabannya sebesar Rp800 juta. Sedangkan Rp100 juta sisanya digunakan untuk membeli karpet olahraga. Semua ada buktinya. Jadi ini kan sangat aneh dan kentara sekali dipaksakan,” terangnya.
Meski tuntutan Jaksa tidak objektif, Sukamto mengaku siap menghadapi apapun keputusan Hakim.
“Saya hanya berdoa agar tidak ada penerima hibah yang ikut bermasalah seperti saya,” tutupnya. (kt1)
Redaktur: Rudi F