Oleh: Khusnul Immanuddin*
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat…”
Tanyakanlah kepada bapak bangsa HOS. Cokroaminoto, sistem apa yang harus diperkuat pertama kali untuk mengobarkan semangat nasionalisme bangsa? maka dia akan menjawab dengan lugas, perkuat sistem perekonomian kita. Revolusi itulah yang kemudian dibawa Cokroaminoto ketika masuk ke organisasi Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. SDI sebagai organisasi berdasarkan perekonomian rakyat berhasil menghimpun pedagang pribumi Islam yang kesulitan berwirausaha batik untuk bisa bersaing dengan pengusaha Cina dan Belanda yang mempunyai persediaan bahan baku lebih banyak dengan modal lebih besar, karena merasa terdesak maka para pedagang pribumi mulai timbul semangat nasionalismenya. Mereka menghimpun diri dalam permufakatan untuk mengembangkan jiwa perniagaan untuk memajukan nasib antar pedagang pribumi. Setelah dirasa perekonomian pedagang pribumi sudah kuat, maka pada tahun 1913 oleh Cokroaminoto SDI diganti namanya menjadi Serikat Islam (SI) yang tidak hanya berbicara tentang perekonomian, tetapi sudah merambah pada semangat anti kolonialisme penjajahan. Tentu saja di awal berdirinya SI juga mengalami hambatan dan rintangan dari Belanda, tetapi karena berdiri di atas perkumpulan bisnis perdagangan yang kuat, maka SI menjadi sulit digulingkan. Terpenting walaupun sudah berubah nama, tetapi tujuan utama SI tetap sama dengan sebelumnya, yaitu mengembangkan jiwa dagang.
Poros Ekonomi Dunia
Walaupun Indonesia sudah merdeka, tetapi apa yang diajarkan oleh Cokroaminoto masih sangat relevan untuk dijadikan acuan, hal ini dikarenakan sistem penjajahan sekarang terorganisir melalui pola yang berbeda. Menurut Wasterllein dalam teori sistem dunia, bahwa poros ekonomi modern merupakan sebuah pembagian kerja secara teritorial dalam produksi, pertukaran barang dan bahan mentah. Pembagian kerja mengacu pada kekuatan dan hubungan produksi dalam ekonomi dunia secara keseluruhan. Pembagian kerja ini menyebabkan adanya dua daerah yang saling bergantung, yaitu negara inti (kapitalis) dan negara pinggiran (sosialis). Secara geografi dan budaya kedua negara tersebut sama sekali berbeda, satu fokus pada padat modal dan satunya lagi ke padat karya.
Sosialisme Religius
Sebagai bapak ekonomi kerakyatan, Hatta tidak sepenuhnya percaya kepada sistem ekonomi kapitalis. Dengan keberagaman budaya yang dimiliki Hatta menilai bahwa sistem ekonomi sosialis merupakan konsep yang bisa mensejahterakan masyarakat, tetapi sosialis disini bukan versi Marx, sosialisme versi Hatta adalah pemerataan berdasarkan konsepsi bangsa Indonesia yang menganut nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa atau sosialis religius, dimana produksi dilakukan oleh orang masyarakat untuk kemakmuran bersama sehingga tidak akan ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat, pemilik modal waib memperhatikan kelanjutan usaha bagi mereka yang baru merintis perekonomiannya, untuk mewujudkan kesadaran perekonomian kerakyatan dibutuhkan nilai-nilai kesetiakawanan dan persaudaraan seperti yang diajarkan agama, sehingga penindasan antar kelas dapat dihindari.
Untuk mengelaborasikan perekonomian kerakyatan maka organisasi perekonomian Indonesia seperti HIPMI atau IUMKM Akumandiri mutlak diperlukan, hal ini agar mata rantai perdagangan (terutama usaha mikro) tidak putus di tengah jalan, sehingga unit-unit produksi yang biasanya berada di daerah tahu ke mana mereka bisa mendapat permodalan, memasarkan barang dan yang terpenting akses informasi tentang strategi persaingan ekonomi antar bangsa. Apalagi hari ini bangsa-bangsa ASEAN sudah memasuki fase Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016 dimana 10 negara di Asia Tenggara sudah terintegrasi menjadi satu kawasan besar, perputaran perekenomian tidak hanya terpusat pada perpindahan barang, tetapi sudah merambah ke ranah industrialisasi jasa bahkan merambah ke tenaga professional. Atas dasar perjanjian multilateral, aturan-aturan yang mempersulit sudah dihapuskan, sehingga bangsa Indonesia membutuhkan jiwa nasionalisme ekonomi yang kuat untuk bisa bersaing di MEA.
Spirit Nasionalisme Kewirausahaan
Menurut Ferry Firmawan dari HIPMI Jateng, bangsa Indonesia membutuhkan para nasionalis sejati yang siap membangun negaranya. Nasionalis sejati di era ini bukan hanya mereka yan siap memberikan jiwa dan raganya di pertempuran atas nama negara, namun sebutan itu pantas disematkan bai mereka yang memaknai dengan cerdas tujuan terpenting kemerdekaan yakni mencapai tataran bangsa yang ideal yakni bangsa yang adil dan makmur. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak generasi muda denan mental wirausahawan yang positif dan kreatif. Itu artinya harus ada kesadaran kolektif dari bangsa ini untuk mendorong tumbuhnya kebijakan dan iklim entreprenial bagi enerasi muda negeri ini. Jadi Nasionalis sejati tidak hanya dipunyai oleh pejuang yang berperang melawan penjajah atau politisi yang membuat kebijakan, tetapi pelaku ekonomi terutama wirausahawan juga bisa disebut nasionalis sejati. Hal ini dikarenakan mereka berjuang mengangkat perekonomian bangsa sehingga kita mampu berdikari, harus diakui sejak berakhirnya perang dunia II maka persaingan ekonomi antar suku, agama dan ras sudah berakhir. Persaingan di era modern adalah persaingan antar bangsa dalam menguasai sistem perekonomian dunia
Mental perjuangan Cokroaminoto harus kembali dikobarkan. Semangat ke-Indonesia-an para wirausahawan harus dijadikan ideologi untuk mempersatukan kesadaran kolektif dalam mencapai tujuan bangsa Indonesia sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD’1945 (Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan Kesejahteraan Umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social (*),
*Penulis adalah Ketua Bidang Pemuda dan Kaderisasi Wirausaha IUMKM Akumandiri Kab.Jepara.