Perang Bahasa dan Wacana dalam Konflik Iran-Israel: Antara Simbol, Ideologi, dan Perebutan Legitimasi Global

Oleh: Zamzam Afandi*

Zamzam Afandi. Foto: doc.Pribadi
Zamzam Afandi. Foto: doc.Pribadi

“Konflik yang berlangsung selama puluhan tahun antara Iran dan Israel bukan sekadar konflik teritorial atau persaingan geopolitik, tetapi merupakan benturan ideologis yang kompleks, dilandasi oleh visi dunia yang saling menegasikan”

Selain berlangsung dalam bentuk serangan militer, konfrontasi ini juga menyasar medan yang lebih abstrak namun tak kalah penting: perang bahasa, wacana, dan informasi.

Di arena ini, narasi menjadi senjata, persepsi publik menjadi wilayah perebutan, dan bahasa menjadi alat hegemonik dalam membingkai siapa yang benar dan siapa yang salah.

Secara ideologis, Iran pasca-revolusi 1979 memosisikan dirinya sebagai pusat perlawanan terhadap imperialisme Barat dan “arogan global” (istilah yang digunakan Ayatollah Khomeini untuk menyebut AS dan sekutunya, termasuk Israel).

Dalam kerangka ini, Israel diposisikan bukan hanya sebagai musuh politik, melainkan sebagai simbol perpanjangan kekuasaan kolonialisme dan penindasan atas umat Islam—khususnya Palestina.

Narasi ini diinternalisasi ke dalam konstitusi Iran, retorika pemimpinnya, dan media negara, menjadikan konflik dengan Israel bukan sekadar persoalan diplomatik, melainkan bagian dari misi ideologis revolusioner.

Sebaliknya, Israel berdiri di atas fondasi ideologi Zionisme, yaitu proyek nasionalisme Yahudi yang berakar pada gagasan kembalinya bangsa Yahudi ke tanah leluhur.

Keberadaan Israel tidak hanya dipandang sebagai realisasi historis dari penebusan penderitaan diaspora Yahudi, tetapi juga sebagai proyek sekuler-demokratis di tengah kawasan yang dinilai didominasi oleh otoritarianisme dan fundamentalisme.

Dalam kerangka ini, Iran dilihat sebagai ancaman eksistensial, bukan hanya karena ambisi nuklirnya, tetapi karena doktrin teokratisnya yang terang-terangan menyerukan penghapusan Israel dari peta dunia.

Perang wacana antara keduanya pun menjadi ekspresi dari benturan ideologi tersebut.

Iran menyebut Israel sebagai “entitas Zionis” atau “rezim ilegal”, yang tidak hanya menyangkut aspek politik, tetapi juga bertujuan untuk mendeligitimasi akar historis dan ideologis eksistensi Israel.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad pernah menyerukan agar Israel “dihapus dari peta”, yang kemudian digunakan oleh Israel untuk menguatkan narasi bahwa Iran adalah negara sponsor terorisme dan ancaman terhadap peradaban dunia (The Guardian, 2005).

Israel, melalui tokoh-tokohnya seperti Benjamin Netanyahu, membingkai Iran sebagai “rezim teror global” dan “Iran dengan bom nuklir adalah ancaman bagi masa depan umat manusia” (WSJ, 2024).

Retorika semacam ini tidak hanya diperuntukkan bagi audiens internasional, tetapi juga untuk menjaga legitimasi politik di dalam negeri, terutama bagi elite sayap kanan Israel yang mengusung agenda keamanan nasional sebagai poros utama kebijakan luar negeri.

Di luar aspek retoris, perang informasi menjadi instrumen penting dalam menghidupkan perang ideologis ini. Laporan dari Israel Hayom (2022) menunjukkan adanya operasi disinformasi digital yang didukung oleh aktor-aktor pro-Iran untuk memicu konflik sektarian di dalam Israel.

Sementara itu, Iran menuduh Mossad dan badan intelijen Barat memanipulasi narasi program nuklir Iran untuk menciptakan legitimasi atas kebijakan sanksi dan isolasi global.

Kedua pihak sama-sama memanfaatkan ketidakpastian informasi sebagai senjata dalam menciptakan kebingungan dan kecemasan, strategi khas dalam perang psikologis.

Dimensi ideologis ini pula yang menjadikan konflik Iran-Israel bersifat tak terkompromi. Ketika satu pihak mendasarkan identitas nasionalnya pada keberadaan negara Yahudi yang sah dan demokratis, sementara pihak lain mendasarkan eksistensinya pada prinsip revolusi Islam yang menolak eksistensi entitas Zionis, maka diplomasi pun menjadi sulit menemukan titik temu.

Ideologi bukan sekadar retorika, tetapi menjadi fondasi dari kebijakan luar negeri dan cara pandang terhadap dunia.

Dalam konteks inilah diplomasi media dan produksi wacana menjadi sarana untuk menanamkan klaim ideologis ke dalam opini publik global.

Iran menampilkan diri sebagai pembela Palestina dan simbol perlawanan dunia Islam, sementara Israel memosisikan diri sebagai negara demokratis yang dikepung oleh kekuatan ekstremis.

Narasi tersebut dipertarungkan di forum-forum seperti PBB dan media internasional seperti BBC, CNN, Press TV, dan Al-Mayadeen.

Akhirnya, perang ini bukan hanya berlangsung di medan perang fisik, tetapi juga dalam ruang simbolik, digital, dan ideologis. Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, siapa yang menguasai narasi sering kali lebih berpengaruh daripada siapa yang menang di medan tempur.

Seperti yang diungkap oleh laporan Institute for Strategic Dialogue (ISD Global, 2024), perang informasi dan manipulasi digital menjadi alat baru dalam mempertahankan posisi dan melegitimasi tindakan di hadapan publik dunia.

Konflik Iran-Israel adalah contoh nyata dari bagaimana ideologi, bahasa, dan informasi membentuk geopolitik kontemporer. Ini bukan sekadar perebutan wilayah atau pengaruh, melainkan perebutan makna, identitas, dan legitimasi moral di panggung global.

 

*Penulis adalah Staf pengajar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Presidium Majlis Wilayah KAHMI DIY

62 / 100 Skor SEO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com