Oleh: Wahyu K*
KENAIKAN Tarif Tenaga Listrik (TTL) diikuti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), serta kenaikan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekaligus di awal tahun 2017 ini menjadi kebijakan pemrintah yang cukup mengagetkan rakyat Indonesia. “Kado” tahun baru tersebut bagi kalangan ekonom pro pemerintah menjadi keniscayaan demi menyelamatkan keuangan negara di tengah krisis global. Namun hal itu sulit diterima masyarakat luas.
Apapun alasannya, kenaikan harga BBM, yang diberlakukan sejak 5 Januari lalu, bukanlah yang diharapkan rakyat. Meski yang naik BBM non subsidi, jelas berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Terlebih saat ini masyarakat lebih banyak yang beralih menggunakan pertalite, karena memang banyak SPBU yang tak lagi menyediakan bensin. Atau kalau toh tersedia, sangat terbatas. Itu yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Belum lagi ketika di daerah pedalaman, yang jauh dari SPBU, pengecer bahkan hanya diperbolehkan menjual pertamax atau pertalite.
Bukti yang paling dirasakan adalah ketika harga Cabai di beberapa daerah mencapai Rp 100 ribu/kilo. Harga yang paling fantastis sepanjang sejarah bangsa Indonesia paska merdeka Tahun 1945.
Alasan kenaikan TTL untuk rumah tangga (yang dianggap) mampu dengan daya 900 VA juga tak kalah membingungkan. Pemerintah tidak menunjukkan data terkait penyalahgunaan listrik yang justru paling banyak digunakan masyarakat menengah ke bawah. Sementara penurunan TTL justru diberlakukan untuk 12 golongan dari 37 golongan (daya di atas 1.300 VA) yang banyak digunakan kalangan mampu.
Sementara kenaikan PNBP terkait surat-surat kendaraan bermotor, juga bukanlah kebijakan yang menggembirakan. Pasalnya, kenaikan harga TTL dan BBM saja sudah memberatkan, apalgi dengan pajak-pajak kendaraan. Di sisi lain, soal pajak ini juga masyarakat belum mendapatkan pelayanan yang mudah dalam pembayaran. Memang, di beberapa kota besar, yang gencar dimuat media, ada pos-pos khusus yang memudahkan pengendara membayar pajak. Tapi itu masih sangat terbatas. Sedangkan jika di Samsat masih terjadi antrian, sehingga bagi masyarakat kecil akan kehilangan waktu untuk mencari nafkah.
Dari semua itu yang paling menjadi catatan adalah bahwa pemerintah menjadi nampak tidak konsisten dengan program-programnya yang merakyat dan berpihak kepada rakyat. Bukan solusi yang ditawarkan pemerintah atas segala keluhan dan penderitaan ‘wong cilik’ justru menambah beban kebingungan baru.
Target pemerintah menekan laju inflasi sangat kontradiktif dengan kebijakan yang dikeluarkan awal tahun ini. Inflasi pada Novvvember 2016 naik 0,33 persen. Dari Oktober2016 sebesar 0,14 menjadi 0,47 persen. Seharusnya jika pemerintah ingin menekan angka inflasi pada 2017, tentu tidak akan mengeluarkan kebijakan yang tidak bijak dengan menaikkan sumber energi pookok masyarakat dan menaikkan pajak di tengah masih mengguritanya angka kemiskinan dan pengangguran di negeri ini. []
*Penulis warga Yogyakarta, pekerja seni dan penikmat buku.