Oleh: Samaun Hi. Laha
“Elections remind us not only of the rights but the responsibilities of citizenship in a democracy (Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi) Robert F. Kennedy/Senator USA.”
Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 semakin dekat, persiapan yang dilakukan lembaga penyelengara dan Pengawasan Pemilu juga sudah mulai bersemangat. Di Kota Tidore Kepulauan (Tikep) baru ssaja mengelar penerimaan Panitia Pengawasan Kecamatan (Panwascam) yang dilantik oleh pada 23 Desember 2019. Khalayak umum jelas tahu tugas dan fungsi panwas, yaitu mengawasi pemilu. Lalu siapa yang mereka awasi?, bagaimana mereka mengawasi? dan mulai sejak kapan dimulainya pengawasan?, itulah pertanyaan-pertanyaan seputar terjadinya pelangaran pemilu dan tugas Panwas menjelaskan itu. Memori masyarakat Tikep belum juga hilang bahwa pada Pilkada 2015 lalu, persoalan yang banyak mendapat sorotan adalah money politic atau politik uang.
Perdebatan masalah politik uang tidak berhenti sampai di KPU saja, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saya Pikir Pemilihan Walikota (Pilwako) atau Pilkada 2020 juga berpotensi konflik dan memungkinkan sampai ke MK, hal itu akan terjadi bila Panwas dan KPU gagal bekerja sebagai pengawas dan penyelengara Pilwako, yang paling bertangunjawab atas kejadian itu adalah “Politik Uang” Connection. Siapa mereka yang bekerja dalam melaksanakan perintah politik uang Connection?, mari kita ikuti ulasan dibawah ini:
ASN Family
Mendeteksi ASN Family dalam keterlibatan politik praktis adalah hal yang paling mudah, sebab perselingkuhan birokrasi dan politik seperti hubungan simbiosis mutualisme, dimana terjadi akses kepentingan yang sulit dilepas pisahkan, aktor yang sering terlibat dalam kegiatan tersebut adalah Lurah dan Kepala-kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), mereka memainkan peran yang cukup signifikan untuk memenangkan Walikota dan Wakil yang diusung. Hal semacam itu bukan isu baru yang didiskusikan tapi peristiwa lama yang terulang kembali dalam setiap pemilu berlangsung, sebab tampaknya sulit mendapat jabatan, akses sumber sada uang dan prestise sosial tampa terjun bebas dalam proses perpolitikan. Padahal hal tersebut sangat dilarang dalam regulasi ASN, sebab ASN harus netral dengan tidak melibatkan diri untuk memenangkan kandidat. ASN pasti tau akibat yang mereka dapatkan, maksimalnya dipecat.
Tokoh Masyarakat dan Agama
Kenapa harus mereka? iya semua pemilih juga tau kalau mereka memiliki pengaruh dalam berbagai aspek. Memanfaatkan ketokohan untuk mempengaruhi pemilih merupakan akses yang bisa dilakukan. Biasanya mereka adalah keluarga dari bakal calon dan kerabat dekat. Keterlibatan para tokoh tersebut dinilai oleh pasangan calon (Paslon) dapat memenangkan pemilu dengan mengelontorkan bantuan ke rumah-rumah ibadah dan kebutuhan-kebutuhan umum misalkan, kebutuhan ibu-ibu PKK dan ritual-ritual kebudayaan. Penyusupan juga terjadi dengan menyamakan paslon dengan tokoh-tokoh terkenal dunia, bahkan nabi sekalipun. Hal itu terjadi karena para tokoh tersebut mendapat janji-janji manis jadi Paslon, tentunya ada uang yang bermain disekitar itu. Beresiko memang!, tapi apa boleh buat, mereka dinilai memiliki andil besar dalam berbagai pertarungan. Saya pikir Panwas sudah siap menjebak dengan regulasi yang ketat tampa pandang bulu.
Organisasi Kepemudaan
Organisasi kepemudaan (OKP) juga sangat rentan dengan politik uang Connection. Setiap desa dan kelurahan tentunya memiliki OKP yang melaksanakan fungsi-fungsi organisasi dengan ketua dan anggota yang banyak. OKP merupakan salah satu kelompok yang rentan terlibat dalam politik uang, sebab mereka akan dijadikan tameng-tameng Paslon dalam setiap agenda politik, terutama Pada Pilwako. Bahayanya kalau mereka terpilih sebagai ketua OKP karena dukungan partai dan Ormas yang beraliasi dengan Paslon, sudah pastinya berbagai cara dilakukan untuk memenangkan Paslon atas nama OKP. Padahal OKP adalah wadah pembinaan yang mestinya dijauhkan dari proses politik yang tidak sehat. Bentuk keterlibatan mereka dengan menyatakan dukungan pada Paslon yang di unggah oleh media cetak maupun daring terlebih pada social media (Sosmed). Kebanyakan juga terlibat pada penyelengaraan pemilu baik KPPS, PPS, PPK sampai KPU. Jika mereka tidak mampu menjaga netralitas maka akan terjadi pelangaran pemilu dengan menerima uang pengamanan dari tim sukses dan kawan-kawan guna memenangkan Paslon yang diusung.
Dari tiga agen diatas dapat dijelaskan bahwa penyelengaraan Pilwako Tikep rentan politik uang connection, dimana pengawas pemilu harus benar-benar menjadi ujung tobak yang dapat mengawasi terjadinya pelangaran Pilwako dengan tetap menjaga netralitas dan integritas. Maraknya politik uang jelas mencedrai demokrasi yang memungkinkan pemenang pemilu mengabaikan kepentingan masyarakat. Namun disisi lain kelemahan Panwas terletak pada pengawasan politik uang melalui E-Banking, sejauh ini saya belum menemukan kasus politik uang lewat digital yang diusut. Misalnya pada “serangan fajar.” H -1 pemilihan, para tim sukses dengan pandainya mentrasfer uang via android pada sasaran-sasaran yang telah ditentukan. Berharap ada regulasi yang mengatur hal-hal seperti itu, demi terselengaranya Pilwako Tikep yang bermartabat. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Leadership and Policy Innovation UGM Yogyakarta dan Dosen Ilmu Pemerintahan Unibrah Maluku Utara