Oleh : Farid E. Susanta
Bukanlah kata yang asing bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya ketika mendengar kata ‘klitih’. Dalam Bahasa Jawa, klitih dapat diartikan keluyuran, jalan-jalan tak berarah di waktu malam. Awalnya konotasi kata klitih adalah positif ketika kita berhenti pada arti tersebut. Namun, pada saat ini, kata tersebut menjadi hantu yang membuat miris dalam benak masyarakat kita. Makna tersebut kemudian direduksi menjadi sebuah tindak kejahatan jalanan yang dilakukan oleh anak-anak yang seharusnya masih berstatus pelajar. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa hal tersebut bisa muncul sebagai gejala sosial yang massif di dalam masyarakat Yogyakarta atau bahkan di Indonesia.
Melalui narasi pendek ini, penulis mencoba menelisik akar dari klitih tersebut muncul. Sudah banyak akademisi yang mengkaji realita tersebut, namun penulis melihat mereka tidak dapat menarik permasalahan secara mendasar, sehingga solusi yang diberikan terkesan parsial dan tidak mengakar. Atomisasi di dalam dunia akademik ini menyebabkan para intelektual berpikir secara reduksions ketika mencoba menghasilkan konsepsi tentang sebuah fenomena sosio-kultural. Ini didasari dari dasar analisa bahwa masyarakat hanyalah kumpulan dari berbagai individu atomic yang tergabung secara kebetulan, dan sejarah hanyalah rekaman berbagai peristiwa unik yang terjadi secara kebetulan.
Seperti analisa yang dilakukan seorang krimininolog FH UII Aroma Elmina Martha dalam menganalisa klitih. Ia melihat akar dari munculnya realita tersebut diakibatkan dari empat hal. Pertama, keterikatan dengan sekolah dan keluarga itu rendah, sehingga istilahnya seperti tidak terpantau. Kedua, Komitmen untuk menyadari bahwa menjalani waktu-waktu yang mereka gunakan sebenarnya bersifat positif, malah menjadi stigma negatif. Ketiga, keterlibatan pada sistem di sekolah, rumah, keaktifan di masjid atau kegiatan keagamaan, olahraga, dan kesenian. Keempat, Keterikatan dengan agama yang kurang, menjadikan nilai moral di masyarakat juga menjadi berkurang. Atas hal-hal tersebut, solusi yang diberikan menjadi parsial dengan memberikan sarana kepada kaum muda agar berkegiatan di lingkungan tempat mereka tinggal, di sekolah diberikan reward ketika mendapatkan prestasi, dsb. Hal serupa disampaikan dalam jurnal berjudul Family Resilience: Preventive Solution of Javanese Youth Klitih Behavior yang ditulis oleh Casmini (UIN Sunan Kalijaga) dan Supardi (UNY). Menurut mereka, adanya klitih bukan karena kondisi ekonomi yang mempengaruhi klitih terjadi, namun berada pada keterbatasan proses pendekatan moral berbasis agama.
Namun di sisi lain ada analisa dari seorang Sosiolog Kriminalitas dari Universitas Gajah Mada, Suprapto. Ia mengatakan bahwa pelaku klitih akan bangga ketika aksinya menjadi viral. Artinya perilaku klitih bukanlah sebatas sebuah perilaku yang terpisah dari kondisi umum suatu masyarakat. Ada semacam behavior yang sudah terinternalisasi dan menjadi laten.
Bisa jadi klithih bermuara pada dua kecenderungan laten sosial masyarakat kita : premanisme dan alienasi. Dua hal tersebut adalah kombinasi yang sempurna untuk menyuburkan budaya klitih. Seorang remaja yang kalah dalam persaingan di dalam hirarki sosial dan kurang afeksi dari keluarga akan menumpuk suatu rasa frustasi. Di satu sisi, tak ada imaginasi bagi mereka untuk mengakhiri sistem sosial tempatnya tumbuh dan melahirkan budaya kolektif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Keresahan, frustasi dan perasaan kalah mereka kemudian dimanifestasikan pada klitih sebagai ladang unjuk gigi mereka di depan kaum muda lainnya. Lagi-lagi, disini-lah hegemoni ‘persaingan’ memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan seorang remaja.
Masuknya unsur kekerasan ke dalam fenomena klitih tak lepas dari bagaimana premanisme terus eksis di dalam sosial masyarakat tempat mereka tumbuh. Di satu sisi, premanisme terus dilanggengkan karena ada kepentingan sosial dan ekonomi yang menggunakan kekerasan mereka sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Wilson 2015, 173).
Tumbuhnya kesadaran kolektif para pelajar di Yogyakarta akhir-akhir ini dapat memberikan gambaran awal bagaimana pertumbuhan kaum remaja juga dipengaruhi oleh perubahan sosial masyarakat sekitarnya. Simaklah, kaum pelajar di Yogyakarta mulai saling berjejaring antar sekolah untuk melawan produk hukum Omnibus Law yang dianggap menindas kaum kecil. Tak jarang, mereka terlihat sebagai kelompok paling berani dalam barisan pendemo. Namun, pemerintah meresponnya dengan represi begitu kuat. Berbagai label negatif disematkan pada mereka. Ini memunculkan analisa awal bahwa para penguasa takut budaya kolektif kaum muda tumbuh karena kesadaran politik kelas, bukan patronase. Alienasi samar-samar, seperti apa yang dikatakan kaum Marxian, terus dipertahankan oleh para penguasa agar para pelajar tetap buta pada akar permasalahan di sosial masyarakat mereka, termasuk frustasi yang mereka alami.
Maka mengikis budaya klitih bukanlah dengan cara pengetatan institusi hukum dan mengembalikan mereka pada ceramah-ceramah keagamaan sambil sesekali diberi petuah suci. Namun, memberikan kaum muda wadah atau sarana berorganisasi politik untuk berdiskusi hal ihwal sosial-politik. Adanya wadah bagi kaum muda untuk mengisi waktu luang, dengan cara berdiskusi dan mengekspresikan aspirasi sosial-politik, maka dengan sendirinya akan menjauhkan dari kegiatan-kegiatan non-produktif bagi perkembangan psikologisnya. Di satu sisi, kaum muda juga dapat menjadi kontra hegemoni budaya kekerasan yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Tindakan represif, bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi imajinasi kaum muda yang sedang berkembang. Semoga..!
*Penulis adalah Pembimbing Kemasyakatan Muda pada Kemenkumham /Bapas Kelas I Yogyakarta