Suara Akar Rumput: Caleg Eksklusif Bukan Pilihan

YOGYAKARTA – Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 semakin dekat. Intensitas kampanye para Calon Legislatif (Caleg) terus meningkat. Bakan, Caleg-Caleg yang sebelumya tak pernah muncul di publik mulai tebar pesona melalui baliho, spanduk, bahkan di media massa. Namun, itu bukan jaminan Caleg tersebut bisa dipilih masyarakat,

“Sebenarnya masyarakat juga sudah tahu, kalau Caleg ya memang munculnya mendadak. Kesan mendadak itu karena biasanya pas mau nyaleg saja fotonya dijalan-jalan, tapi kadang kalau mau ditemui susah. Kalau di Jogja semakin sulit ditemui, semakin dijauhi. Belum jadi aja susah ditemui apalagi kalau sudah jadi?”ujar seorang karyawan swasta, Bayu (35) warga Berbah, Sleman.

Hal senada juga diungkapkan Santi (29), seorang karyawati perusahaan swasta di Yogyakarta. Menurut warga Gondomanan, Yogyakarta ini, Caleg yang hanya mengandalkan uang bukan jaminan akan dipilih.

“Sekarang itu kalau mau dipilih biasanya ya harus keluarkan banyak uang. Tapi banyak juga masyarakat yang bilang, terima uangnya, tidak pilih orangnya. Ya itu, karena kenal saja Cuma lewat baliho, ga jelas programnya apa,” katanya polos.

Pendapat serupa juga dikatakan Rofik (23) Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Mahasiswa asli warga Kota Yogyakarta ini beranggapan, pola kampanye para Caleg tidak berubah dari Pemilu-Pemilu sebelmnya, bahkan semakin buruk.

“Saya dengar ada beberapa caleg yang beli suara per orang ratusan ribu. Artinya kan sama saja seperti dulu, modelnya beli suara pakai uang, kaos, sembako, ya begitu-begitu saja. Munculnya saat mau pemilihan itu juga sama kan?” ujarnya.

Namun Rofik menilai masyarakat sekarang belum tentu sama dengan yang dulu. Artinya kata dia, belum tentu sudah dikasih uang dan barang-barang lantas mau memilih.

“Dari banyak obrolan di angkringan, kalau harus memilih bekerja atau ke TPS akan memilih kerja. Kalau pencoblosannya hari libur, banyak yang lebih memilih istirahat atau libur saja. Tapi itu tidak semuanya lho mas,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, pengamat sosial sekaligus staff pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Masroer, M.Si mengungkapkan, persoalan pragmatisme masyarakat tersebut merupakan akibat dari pendidikan politik yang keliru. Jika Caleg berperilaku pragmatis, kata dia, konstituannya akan lebih pragmatis. Dicontohkannya untuk nyoblos (memilh) di Pemilu 2009 lalu Caleg memberi sesuatu, maka tahun ini konstituen akan minta lebih banyak, alasannya karena kebutuhan hidup meningkat.

“Nah ini kan berarti selama lima tahun ini beban hidup masyarakat semakin berat. Seharusnya kan kalau sudah memilih wakil rakyat yang tepat setidaknya bisa sedikit mengurangi beban hidup, ” pungkasnya. (rud)

Redaktur: Azwar Anas

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com