Oeh: Dzikri Maulana
KRISIS terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah krisis kepemimpinan dan krisis keteladanan. Krisis ini jauh lebih berbahaya dari krisis ekonomi, energi, kesehatan, pangan, lingkungan dan keadilan. Karena dengan absennya seorang pemimpin yang kompeten, visioner dan memiliki integritas yang tinggi, maka masalah pemerataan pembangunan, konservasi hutan, masalah kesehatan, pendidikan, sistem peradilan, dan energi akan semakin parah. Akibatnya, semakin hari kemiskinan akan bertambah, biaya pelayanan kesehatan semakin sulit terjangkau, hukum semakkin kompromistis dan pandang bulu, pendidikan semakin kehilangan welas asih yang berorientasi kepada akhlak mulia, pengangguran tersebar dimana-mana, sungai, air, dan tanah akan semakin tercemar.
Tahun 2014 akrab disebut dengan tahun politik, karena di tahun ini akan diselenggarakan siklus lima tahunan pesta demokrasi di Indonesia, yaitu pemilihan umum, baik untuk legislatif maupun Presiden. Pemilu tidak hanya tentang pencoblosan dan perhitungan suara saja, tetapi merupakan permulaan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, nasib bangsa Indonesia selama lima tahun kedepan ditentukan dari sini. Untuk itu pemilihan umum (pemilu) seharusnya menjadi sarana ‘mencari’ pemimpin yang berkualitas dan dapat menjadi teladan, karena pemimpin yang akan terpilih nantinya baik legislatif maupun Presiden sangat berpengaruh terhadap maju atau mundurnya Indonesia ke depan. Salah satu indikator kemajuan sebuah negara adalah jika pemimpin sebagai pemangku kebijakan mampu membawa bangsanya kearah yang penuh perubahan dan inovasi yang didasari asas adil makmur.
Selama ini teori atau konsep kepemimpinan yang berkembang di Indonesia berasal dari barat, yang sebetulnya belum tentu seirama dengan kebutuhan bangsa Indonesia, dikarenakan latar belakang sejarah dan kultur yang berbeda. Tidak ada salahnya jika kita sebagai bangsa yang berdaulat kembali menggali dan belajar tentang konsep kepemimpinan dari khasanah budaya kita, salah satunya adalah wayang.
Wayang adalah salah satu warisan budaya kita yang hingga hari ini masih eksis dan tak tergerus oleh zaman. Dunia pewayangan sarat akan falsafah kehidupan, moralitas, spiritualitas, kepemimpinan, keteladanan dan kebijaksanaan, selain itu wayang juga mengandung wawasan cinta tanah air, dan ketatanegaraan. Oleh karena itu pada tanggal 7 November 2003 UNESCO menetapkan wayang Indonesia sebagai Masterpiece Of The Oral And Intangible Heritage Of Humanity, wayang merupakan salah satu karya agung budaya Dunia.
Dewasa ini, Republik Indonesia seolah kehilangan sosok yang benar-benar mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Para pejabat kita asik dengan dunianya sendiri, bahkan tidak jarang mereka lupa atau sengaja lupa atau bahkan tidak tahu mau dibawa kemana perjalanan bangsa ini kedepan. Bangsa ini kehilangan sosok seperti Begawan Abiyasa atau biasa dijuluki Resi Wiyasa, sosok yang arif selalu memberikan pencerahan hati dan mampu memberikan tauladan. Begawan Abiyasa adalah guru pandawa lima, dan ponokawan. Ketika para pandawa mengalami kesulitan, abiyasa selalu memberikan petunjuk dan wejangan kepada mereka, agar menyelesaikan permasalahan dengan arif bijaksana berlandaskan prinsip-prinsip budi luhur. Mengingatkan para pandawa dan ponokawan agar mengesampingkan kenikmatan duniawi dan senantiasa ingat kepada Tuhan, mengajarkan kepada mereka tentang memahami kehidupan dengan jalan heneng jiwa yang tenang, hening pikiran yang jernih, awas selalu sadar dan waspada dalam berbagai tindakan, eling selalu ingat pada hakikat hidup sebagai hamba Tuhan. Begawan Abiyasa adalah seorang ahli ibadah, sumbangsihnya terhadap negara tercermin dari pemikiran-pemikiran yang disampaikan kepada para pandawa dan ponokawan.
Bangsa ini juga kehilangan sosok pemimpin seperti Prabu Kresna yang dijuluki Satria pinandhita (negarawan). Pemimpin yang sejak kecil hingga ia menjadi seorang pemimpin tidak pernah berhenti mencari ilmu dan mencari keutaman kehidupan. Pemimpin yang adil dan bijaksana dalam menjalankan kepemimpinanya, memiliki hati yang peka terhadap keadaan masyarakatnya.
Absennya pemimpin seperti para pandawa lima (Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) juga menjadi salah satu indikator stagnannya perjalanan bangsa ini. Para pemimpin kita seharusnya banyak belajar dari kisah para pandawa lima ini, yang mampu mengubah hutan belantara wanamarta menjadi sebuah kerajaan yang besar, berkembang dan makmur, kerajaan itu diberi nama Amarta. Kerajaan yang demokratis berasas musyawarah, dengan hukum yang tidak pandang bulu, baik masyarakat maupun keluarga kerajaan yang melanggar hukum akan mendapat ganjaran yang setimpal. Masyarakatnya yang sejahtera dan memiliki solidaritas yang kuat antar sesamanya, juga menjunjung tinggi toleransi. Digambarkan bahwa kerajaan amarta adalah contoh good governance. Kerajaan Amarta berbentuk kesatuan yang memiliki daerah yaitu Jodipati yang dipimpin oleh Bima, Madukara oleh Arjuna, Sawojajar oleh Nakula, Bumiratawu oleh Sadewa, sedangkan Amarta sendiri dipimpin oleh Puntadewa sebagai raja negara kesatuan Amarta, akan tetapi segala keputusan dan kebijakan kerajaan ditentukan oleh forum musyawarah atau sidang pandawa sebagai kekuasaan tertinggi kerajaan.
Keteladanan Ramawijaya semestinya juga dicontoh oleh para pemimpin negri Indonesia ini, Ramawijaya yang memiliki budi luhur, sabar, gigih dan mampu membangkitkan optimisme masyaraktnya. Sebagaimana tercermin dalam perang melawan Rahwana yang menculik Dewi Shinta dan dibawa ke negeri Alengka yang berada jauh di seberang lautan, akan tetapi Ramawijaya tidak putus asa, ia bersama rakyatnya membuat tambak agar bisa menyebrangi lautan menuju negeri Alengka tempat Dewi Shinta berada, hingga akhirnya tambak itu berhasil membentuk sebuah daratan yang menghubungkan negerinya dengan negeri Alengka. Hal ini membangkitkan semangat dan kebanggaan tersendiri bagi rakyatnya. Ia juga pencipta ajaran Hastabrata, hasta artinya delapan dan brata adalah perilaku atau sikap. Dalam ajaran itu dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus rendah hati, sabar, tidak tergesa-gesa, dapat membujuk atau negosiator (surya). Membuat gembira, halus budinya, dapat memberi kebahagiaan seisi jagat (candra). Tegas, tak muda tergoda, tak gentar menghadapi cobaan, percaya diri, terus terang (Kartika). Adil dalam menggunakan kekuasaan, member penghargaan kepada yang berjasa terhadap Negara dan memberi hukuman terhadap yang bersalah (angkasa). Tidak pernah berhenti meneliti, memperhatikan rakyatnya dengan berbagai macam keaneka ragamannya, tanpa pamrih (maruta). Pemaaf, tak mudah tersinggung (samodra). Tegas tak pandang bulu, sabar, ramah, marah tanpa terlihat (dhana). Dermawan, senang memberi, rela berkorban termasuk mengorbankan dirinya sendiri (pratala)
Perempuan Indonesia dapat mempelajari keteladanan tokoh Srikandi, terutama mereka yang duduk sebagai senator di negri ini. Dalam dunia pewayangan Srikandi digambarkan sebagai sosok wanita yang tangguh, cerdas dan berani menghadapi musuh yang mengancam negaranya. Dengan keberanian dan keuletan belajarnya ia dinobatkan sebagai senapati pandawa dalam perang Bharatayuda melawan para Kurawa, bahkan dalam perang itu ia berhadapan dengan eyangnya sendiri, yaitu Bisma. Demi kebenaran, tegaknya keadilan dan menjaga kedaulatan negaranya, ia tidak pandang bulu melawan siapapun, termasuk eyangnya sendiri. Sebagai ksatria ia memohon hormat kepada eyangnya sebelum melakukan pertempuran itu, dan Bisma pun menerimanya. Kemudian terjadilah peperangan yang dimenangkan oleh Srikandi.
Keteladanan para tokoh pewayangan di atas telah memberi gambaran kepada kita tentang corak kepemimpinan khas Nusantara yang berasal dari nilai-nilai luhur bangsa ini. Dalam mewujudkan Negara yang mardikengrat mbahudendha nyakrawati artinya Negara yang merdeka berdaulat dan bermartabat serta sejahtera, maka seorang pemimpin Indonesia harus mampu membangkitkan rasa optimism rakyat, memiliki orientasi pengabdian dan dedikasi terhadap negara. Selain itu pemimpin juga harus mampu berkomunikasi secara luas dengan berbagai lapisan element masyarakat tanpa membeda-bedakan satu sama lain, mampu menangani konflik secara bijak dengan ketabahaan dan kearifan yang tinggi, memiliki rakam jejak karir yang bagus. Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Memiliki wawasan kebangsaan, sosial politik, budaya, hankam serta hubungan antarnegara, kemudian yang terpenting adalah integritas dan kesetiaannya pada NKRI, pancasila dan UUD 45.
Semoga dalam pemilu 2014 akan melahirkan sosok seperti Begawan Abiyasa, Prabu Kresna, Pandawa Lima, Ramawijaya dan Srikandi. Tanggung jawab keberlangsungan bangsa ini tidak hanya pada para pemimpin negeri ini saja, tetapi juga terletak pada kita sebagai warga negara dan masyarakat. Sebagai warga negara, kita diberi hak oleh negara untuk memilih pemimpin kita secara langsung dalam pemilu mendatang. Untuk itu partisipasi kita sangat menentukan bagaimana Indonesia kedepannya. Wujudkan pemilu berintegritas untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas.
*Penulis Adalah alumni fakultas Ilmu Budaya UGM Fungsionaris PB HMI Departemen Kebudayaan