Wah! Banyak Anak Yogyakarta yang Tidak ‘Njogjani’ Lagi

YOGYAKARTA – Kalangan akademisi dan peneliti menilai sudah mulai terjadi pergeseran sistem nilai di tengah perubahan sosial budaya masyarakat Yogyakarta. Meskipun dikenal sebagai kota budaya, namun nilai-nilai budaya sudah mulai meluntur, terutama di kalangan generasi mudanya. Banyak anak muda Yogyakarta yang tidak Njogjani atau mencirikan masyarakat Yogyakarta tradisional.

“Contohnya kurangnya sopan santun  anak-anak serta ketidaktahuan mereka dalam pemakaian kromo inggil (bahasa Jawa halus) dewasa ini. Ada pergeseran sistem nilai anak-anak kita yang patut diperhatikan oleh orang tua,” tutur peneliti ICRS, Dr. Siti Syamsiyatun dalam Seminar Nasional dan Launching Buku Hasil Penelitian Sekolah Pascasarjana UGM “Mendukung Keistimewaan Yogyakarta Melalui Perspektif Keilmuwan Multidisiplin Guna Membangun Kemandirian Bangsa”, Selasa (28/10/2014) di Sekolah Pascasarjana UGM.

Dikatakan siti, meskipun dikenal sebagai city of tolerance ada kekhawatiran sebagian masyarakat di Yogyakarta terpengaruh dengan perkembangan politik dan menguatnya identitas keagamaan tertentu.

“Di satu sisi terbukanya interaksi antara modernitas dan tradisionalisme diharapkan bisa disikapi secara bijaksana oleh masyarakat,” ungkapnya.

Sementara pengamat politik UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, MA., Purwo mengatakan Keistimewaan yang disandang Yogyakarta saat ini diharapkan tidak berhenti pada status semata. Keistimewaan tersebut diharapkan mampu dikelola melalui hal-hal yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum atau kebenaran tetapi kenyataannya mengandung kebenaran (paradoksal) dalam pemikiran yang dimiliki masyarakat

Menurutnya, masyarakat Yogyakarta selama ini sudah terbiasa dalam mengelola paradoksal pemikiran sebagai strategi budaya.

“Misalnya golong gilig yang ada di Tugu meskipun tidak lagi bulat namun nilai-nilai yang ada di dalamnya, yaitu persatuan dan kesatuan bersama raja masih tetap melekat. Sama halnya kalau kita lihat Siti Hinggil yang ada di Kraton masih tetap bisa dipakai oleh masyarakat. Padahal itu masih bagian dari Kraton,”ujar Purwo sebagaimana rilis yang diunggah situs resmu UGM.

Purwo melihat kepiawaian masyarakat dalam mengelola paradoksal itu menjadi salah satu strategi kebudayaan. Dengan demikian reproduksi cara kerja paradoksal ini bisa menjadi gerakan dalam menjaga keistimewaan Yogyakarta Sekaligus untuk menangkal adanya pendangkalan makna keistimewaan.

Peneliti ICRS lainnya, Dr. Jeanny Dhewayani lebih banyak menyoroti status keistimewaan Yogyakarta dari sisi pendidikan. Ia mengatakan pendidikan di Indonesia masih fokus pada sisi kognitif dan bukan pada pengembangan karakter. Di sisi lain, kata dia, Arah pendidikan belum jelas maka pendidikan karakter pun ikut tidak jelas.

“Dalam perjalanannya pendidikan karakter seolah-olah juga masih menjadi tanggung jawab utama dari guru agama. Padahal semua harus terlibat. Ya guru maupun orang tua,” tandas Jeanny. (pr/ugm/ian)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com