Alasan Naikkan Harga BBM Salah Kaprah, Ini yang Bikin APBN ‘Jebol’

YOGYAKARTA – Alasan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau mencabut subsidi BBM untuk rakyat demi menambah APBN dinilai banyak kalangan sebagai alasan yang salah kaprah.

Menurut aktivis Jogja Coruption Watch (JCW), Baharudin Kamba,  Setiap tahun APBN selalu meningkat terus, tetapi tidak mampu mensejahterakan rakyat. Menurutnya, mengutip data yang pernah dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) hanyai sebanyak 14% dari total pendapatan pajak dalam negeri yang dinikmati rakyat.

“Yang terbesar menyedot anggaran Negara dan membuat APBN ‘jebol’ adalah belanja rutin pemerintah untuk gaji dan tunjangan Pegawai Negeri dan abdi Negara sebesar  54%, dan sisanya 32 persen bahkan diduga tidak jelas peruntukkannya, alias diduga  ada kebocoran anggaran atau dikorupsi,” ujar Baharuddin kepada jogjakartanews.com, Rabu (12/11/2014).

Dijelaskan anggota Forum Pemantau Independen(Forpi) Kota Yogyakarta ini, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat sangat kecil jika dibandingkan dengan belanja pegawai.  Kenaikan belanja pegawai, kata dia,  dari 2013 ke 2014 hingga Rp 43,6 triliun dan kenaikan belanja modal untuk pembangunan hanya sebesar Rp 13,2 triliun.

Terkait asumsi 32% APBN yang tidak jelas peruntukkannya, Bahar mengacu pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Semester I 2013, ditemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp 472,9 triliun di kementerian dan lembaga.

“Sehingga dari jumlah tersebut dari total APBN adalah 32%,” ujarnya.

Bahar yang juga aktivis Jogja Coruptin Watch (JCW) ini berharap pemerintah lebih melakukan efisiensi anggaran untuk belanja pegawai negeri, agar APBN lebih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dan tidak perlu menaikkan harga BBM yang akan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok.

“Tak perlu menaikkan harga BBM dengan pengalihan subsidi yang tidak tepat. Sudah terbukti cara-cara pemerintahan lama dengan memberikan subsidi semacam BLT atau BLSM di era SBY yang kini dimodifikasi pemerintahan Jokowi dengan kartu Tri Saktinya, tidak efektif untuk meningkatkan perekonomian rakyat kecil,” ujarnya.

“Jadi saya kira salah kaprah kalau untuk menutup APBN dengan menaikkan harga BBM, apa bedanya pemerintahan SBY dengan Jokowi? Jika Jokowi programnya kerakyatan, maka solusi yang terbaik adalah efisiensi belanja pegawai. Jangan sampai terkesan pemerintah lebih memanjakan pegawai negeri ketimbang rakyat biasa yang jumlahnya lebih banyak,” pungkasnya. (ian/kontributor)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com