Bang Renggo, Sang ‘Preman Pensiun’ Blok M yang Kini Jadi Pengusaha Kaos

JAKARTA – Jika anda termasuk penggemar cerita dari serial televisi “Preman Pensiun” yang tayang di salah satu televisi swasta nasional. Maka cerita Bang Renggo, sang preman pensiun dari blok M barangkali lebih menginspirasi daripada sekedar cerita fiksi “preman pensiun” yang tak benar-benar pensiun. Bang Renggo, adalah potret nyata dari seorang mantan ‘penguasa’ Blok M, Jakarta, yang kini menjadi pengusaha kaos di tempat yang sama. Kisah mengenai Bang Renggo ini kemudian ditulis oleh Pewarta Warga, Muhammad Mu’alimin kepada Jogjakartanews.com

“Namaku Renggo, anak – anak sini (preman sejawat) memanggilku Bang Renggo, aku dari Desa Pekuwon, Kecamatan Rengel – Tuban, sebuah desa dibawah kaki pegunungan kapur dan hutan jati Bumi Wali Ronggolawe (Tuban – Jawa Timur). Dulunya aku seorang anak yang penurut, aku juga rajin ngaji, setiap sore aku bertugas menggembala sapi  di rerumputan sekitar lereng bukit dan pegunungan di utara desaku, waktu itu usiaku sekitar 14 tahunan (1978), karena anak petani miskin aku putus sekolah dan dengan ikhlas membantu orang tua bekerja setiap hari,” cerita Renggo.

Suatu ketika, induk sapinya ‘memburu’ rumput hijau hingga ke lereng jurang, pelan-pelan ia berusaha menghalaunya untuk kembali ke barisan sapi-sapi yang lain, namun nahas, sapi indukannya terpeleset jatuh dan mati seketika. Jurang itu memiliki ketinggian sekitar 30 meter. Saat itu pula jantung Bang Renggo sontak berdetak kencang, fikirannya kacau sambil bertanya-tanya apa yang mesti ia lakukan.

“Aku tak bisa membayangkan betapa marahnya orangtuaku kehilangan harta berharganya, padahal setiap hari kami makan seadanya sembari memelihara sapi agar hasilnya dapat digunakan untuk makan atau membangun rumah kami yang reot, namun seketika jerih payah kami itu musnah begitu saja. Saking takutnya, sore itu aku memutuskan untuk minggat entah kemana, dalam benakku aku tak peduli mau kemana asal jangan sampai ketahuan orangtua,” demikian kata Renggo sembari mengingat-ingat masa lalunya.

Dengan baju yang masih menempel di badan, ia pun berjalan berpuluh – puluh kilo meter mengitari pegunungan Tuban, kakinya berdarah-darah menginjak bebatuan tajam khas batuan kapur – karang yang kering dan tajam. Hingga akhirnya sampai di jalan Pantura, Renggo kecil lantas numpang bus yang entah kemana tujuannya. Renggo kecil tak peduli hendak kemana. Yang terbesit dalam pikirannya saat itu hanyalah pergi jauh dari orangtua sebab tak kuasa bila harus menerima amarah besar sang orang tua sebab sapinya yang mati jatuh ke jurang.

Sepanjang perjalanan, ia hanya mengamati keadaan sekitar melalui jendela Bus. Melewati Rembang, Pati, Tegal, bogor, Ciamis hingga Bandung, hanya beberapa nama kota yang mampu ia ingat. Rasanya hampir seluruh pulau Jawa sudah dilalui namun ia tak pernah mengerti kemana bus itu akan berhenti.

Suatu ketika sampailah ia di Terminal semarang. Karena belum makan sejak 2 hari, Renggo kecil merasakan lapar yang tidak tertahan, sialnya tak ada sepeserpun uang di dalam kantongnya. Ia melihat banyak orang mengemis dan ngamen, hingga saat itu ia memberenaikan diir untuk meminta belas kasihan orang-rang di sekitar terminal. Namun nahas, hampir semua orang mengacuhkan, hingga ada juga yang menuduhnya sebagai bagian dari sindikat pengemis, bahkan ada yang meludahi.

Karena desakan perut yang semakin lapar, Renggo kecil akhirnya terpaksa mencopet. Hari-harinya dilalui dengan segala yang tak asing lagi didunia jalanan, apalagi di terminal besar seperti kota Semarang. Mulai dari ngamen, nodong, nyopet, malak, minum-minum, nyimeng (ngobat) hingga perkelahian dengan sesama berandal setempat pun ia lakukan.

Seiring berjalannya waktu, Renggo kecil tumbuh besar. Ia semakin kecewa dengan orang-orang di sekitarnya tak acuh terhadap nasib orang-orang seperti dirinya. Bagaimana tidak, ia yang awalnya anak pendiam dan penurut hanya meminta sesuap nasi saja tidak dikasih, ia merasa menjadi orang baik tidak ada gunanya lagi, sehingga suatu ketika ia membulatkan tekaduntuk menjadi ‘penguasa’ jalanan.

“Berkat tuntutan untuk bertahan hidup dikehidupan jalanan, aku memutuskan merantau ke Jakarta, kota yang kata orang-orang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik,” tutur Renggo.

Di Jakarta, ia memutuskan untuk ‘berkarir’ di kawasan terminal Blok M dengan tekadmenjadi ‘penguasa’ jalanan. Hampir setiap hari ia mesti berkelahi dengan preman blok M lainnya. “Pernah suatu hari aku luka parah terkena sabetan pedang. Tapi aku bertekad untuk tetap bertahan hidup. Hingga akhirnya pemimpin preman blok M ‘lelah’ berseteru tiap waktu denganku dan menawarkan kerjasama ‘pengelolaan’ wilayah terminal blok M Jakarta Selatan,”ceritanya.

Di terminal ini, entah berapa puluh orang yang sudah ia copet, entah berapa ratus orang yang sudah dipalak, ia mengaku tak tak peduli, tujuannya utamanya hanya ingin hidup. Hingga 15 tahun berlalu ia hidup di jalanan dan tak ada sedikitpun keberanian pulang kampung untuk sekedar melihat keadaan orangtua. Terkadang pada malam hari ia hanya mampu menatap langit dengan bersandarkan tembok pemisah antara terminal dan bangunan disampingnya.
Namun ada saja godaan, mulai dari anak-anak (preman junior: bawahan) yang datang membawa arak, ganja hingga cabe-cabean. Akhirnya, karena pusing merenungi hidup yang tak pernah merasa tenang, tak jarang ia menikmati ‘jamuan’ dari anak-anak angkatnya di jalanan.

Suatu hari, Renggo dewasa jatuh cinta pada seorang wanita. Dengan keadaan yang serba kelam, sang wanita mau menerima dengan apa adanya. Ia berjanji setelah menikah dirinya beserta isti akan pulang dan meminta maaf kepada sang orang tua. “Barangkali belasan tahun berlalu mereka sudah mau merelakan sapi itu dan memaafkan kesalahanku diwaktu masih bocah ingusan dulu,” pikir Renggo saat itu.

“Suatu hari aku beranikan pulang bersama istriku. Dengan penampilanku yang lebih mirip Alm. Mbah surip (penyanyi Reggae) aku ketok pintu kayu reot rumahku, pintu itu dibuka dan seketika ku lihat sosok kakek tua dengan tongkat ditangannya. Langsung saja aku peluk dan memohon maaf atas kesalahanku dimasa lalu, tapi kakek ini (bapakku) bingung tidak mengenaliku, dia tidak tahu aku siapa, setelah ku jelaskan akhirnya dia baru sadar bahwa lelaki berparas preman ini adalah anaknya. Dia tak menyangka kalau aku masih hidup, dia menyangka aku sudah meninggal dan dia sudah mengikhlaskan kematianku,” kisahnya.

Sambil menangis tersedu-sedu, nak, nak, tak seharusnya kamu dulu minggat begini, awalnya memang kami marah, tapi kami sadar kamulah harta paling berharga yang kami punyai, kini setelah 15 tahun berlalu. Dan ibumu sudah meninggal 4 tahun yang lalu, hampir rasanya airmataku kering meratapi penyesalan kehilanganmu hanya gara-gara sapi. ujar Bapak Renggo saat itu seraya dengan nada mengharukan.

Sejak saat itu, Renggo berkunjung 2 bulan sekali ke kampung halamannya di Tuban. Dengan hasil ‘Mreman’ ia nafkahi bapak dan anak istrinya. Hingga suatu ketika dirinya dikaruniai seorang putri yang cantik. Namun semenjak dilahirkan, anaknya selalu saja sakit-sakitan hingga usia 6 tahun. Sudah ratusan kali anaknya yang cantik itu menderita sakit, mulai dari panas, mencret, batuk, gatal-gatal, DBD, kejang-kejang hingga muntah-muntah. Kesusahan demi kesusahan ia alami, hingga akhirnya Renggo teringat pesan pak Kiainya dulu. Intinya dari pesan sang Kyai yang masih ia ingat adalah kalau nyari duit itu harus yang baik (halal), tidak merugikan orang lain, kalau rezeki didapat dari keburukan, maka tidak barokah dan menyebabkan penyakit.

“Sejak saat itu aku berjanji untuk meninggalkan dunia hitam yang aku jalani lebih dari 21 tahun. Belasan preman, rekanku sudah mati terkapar terkena peluru “PETRUS” (Penembak Misterius), yaitu polisi (sniper) satuan khusus era Presiden Soeharto yang ditugaskan membantai ditempat preman yang meresahkan masyarakat,” ungkapnya.

Keinginan untuk menjadi orang baik tersebut terasa sangat berat, orang-orang mentertawakan profesi barunya sebagai penjual kaos, mereka heran masa Pemimpin preman yang ditakuti jualan kain. Hingga suatu ketika istrinya meminta cerai karena dianggap sudah tidak mampu menafkahinya lagi (kurang gaji), entah cobaan apalagi ini ya Allah, begitu berat proses pertobatan ini, batinnya saat itu.

“Saat itu hampir saja aku ingin kembali menjadi orang jahat, dalam hatiku aku merasa menjadi orang baik terlalu susah, mending menjadi preman dan kembali ke kehidupan duniaku yang gelap,” paparnya.

“Itulah kisah hidupku, semoga kawan-kawanku yang masih eksis didunia hitam di terminal blok M dan sekitarnya cepat tobat. Aku menitip pesan, tekanan hidup tak boleh menjadi alasan kita untuk menyakiti orang lain. Dan percayalah, saat kau jatuh bangun dan gagal dalam menjalani hidup, orangtua adalah beringin yang menjadi sandaran berteduh saat kau lelah dan menyerah,” demikian pesan Bang Renggo.

Redaktur: Herman Wahyudi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com