Niat Bantu Petani, Mahasiswa UGM Diganjar Penghargaan Internasional

YOGYAKARTA – Niat yang baik akan melahirkan hasil yang baik pula. Begitulah yang dirasakan dua mahasiswa UGM, Ridwan Wicaksono dan Imanuddin Madjid. Keduanya tidak saja berhasil membantu petani tambak udang mencarikan solusi, melainkan juga berhasil memenangi Kompetisi Teknologi Inovasi dan Teknologi Internasional, The ASME Inovation Showcase, di India pada tanggal 19-21 April lalu.

Kepada wartawan, Rabu (06/05) Ridwan dan Imanuddin mengaku tak menyangka bakal mendapatkan penghargaan internasional. Sebab awalnya, mahasiswa S2 Teknik Elektro tersebut hanya berniat membantu para petani tambak udang di pantai Parangkusumo, Bantul. Ridwan menceritakan, saat itu petani tambak udang di Parangkusumo mengeluh karena udang-udangnya sering mati sebelum berhasil di panen. Akibatnya, petani mengalami kerugian yang cukup besar karena udang-udang hasil budidaya petani biasanya diekspor ke luar negeri.

Karena itu, atas undangan para petani tambak udang yang memintanya mencarikan solusi atas permasalahan yang mereka alami, Ridwan beserta 10 rekannya berdiskusi mencaritahu apa penyebab dari permasalahan yang dialami petani. “Kita diundang bagaimana cara mengatasinya,” kata Ridwan kepada wartawan

Tanpa bekal ilmu pertanian yang cukup, Ridwan dan rekan-rekannya lantas difasilitasi oleh salah satu perusahaan yang bergerak dibidang agrukultur. Hingga akhirnya diketahui masalah yang dihadapi petani disebabkan oleh pengetahuan petani yang kurang terkait kondisi abnormal air di tambaknya. Petani cenderung terlambat mengetahui kadar oksigen air, kadar garam, amonia, mapun logam berat akibat selama ini mereka hanya bisa mengontrol secara manual hingga akhirnya udang-udangnya mati sebelum dipanen.

Dari itulah kemudian tercipta sebuah alat teknologi pertanian yang diberi nama BlumbangReksa yang punya arti “kolam sejahtera”. Alat tersebut memili sensor yang mampu mengukur tingkat temperatur, kelembaban, tingkat keasaman (pH), kadar oksigen, salinitas (kadar garam), dan kadar logam berat.

“Dari sensor itu dibaca oleh mikrokontroler, lalu datanya diolah dan diunggah ke internet agar bisa  diunduh di smartphone milik petani masing-masing. Mereka tinggal login. Bagi petani  yang tidak punya smartphone cukup dengan sms dengan teknologi broadcast,” kata rekan Ridwan, Imanuddin.

Dengan alat yang diciptakan dalam tiga bulan itu, kondisi air menurut Imanuddi bisa dikontrol secara real time oleh petani. Petani bahkan bisa melakukan tindakan secara cepat untuk mengatasi kondisi air tambaknya yang abnormal agar udang-udang tidak terlambat lagi untuk diatasi. “Petani bisa ambil langkah cepat dan tidak telat,” katanya.  

Saat ini, mereka mengaku akan terus melakukan inovasi terhadap alat yang dibuatnya agar bisa diproduksi secara massal dan dapat dibeli secara terjangkau oleh petani. Sebab alat yang ada saat ini memakan biaya produksi Rp 10 juta, harga itu tentunya cukup mahal untuk kalangan petani. (Bah)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com