Subandi Kusuma: Yang Menuduh Sultan HB X Makar Tak Paham Hukum dan Sejarah

YOGYAKARTA –  Tuduhan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), Willie Sebastian terhadap Gubernur DIY, Sri  Sultan Hamengku Buwono X yang melakukan penyelewengan Undang-Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY , mendapat reaksi keras dari kalangan  tokoh dan pegiat kebudayaan.

“Invertarisasi tanah kraton, baik Sultan Ground (SG) maupun Paku Alaman Ground (PAG), yang dipersoalkan Wiliam  adalah bagian dari pelaksanaan UU Keistimewaan.Kan Keistimewaan meliputi soal pertanahan, itu jelas di pasal 7 (2) huruf d. Selain itu dalam UU Keistimewaan jelas  disebutkan bahwa pengaturan keistimewaan DIY dilaksanakan berdasarkan atas pengakuan atas hak asal-usul, sesuai pasal 4 a. Ini jelas yang menyoal kurang paham sejarah dan hukum,” kata tokoh pegiat kebudayaan Jawa, Subandi Kusuma, SH. MH kepada jogjakartanews.com, Rabu (16/09/2015).

Terkait  tudingan diskriminatif, menurut Subandi Kusuma, hal itu juga tidak kuat argumentasinya, serta data dan fakta yang meyakinkan. Menurutnya, sejarah juga mencatat bahwa nagari Ngayugyokarto Hadiningrat sebelumnya adalah kerajaan atau negara berdaulat, hingga akhirnya bergabung dengan NKRI melwan dan mengusir penjajah.

“Artinya Sultan yang bertakhta saat ini terhubung dengan pendahulunya. Dengan demikian memiliki hak untuk mengatur DIY, makanya rakyat Yogyakarta memperjuangkan UU Keistimewaan. Kalau kemudian dituding diskriminatif, berati tidak menghargai rakyat Yogyakarta yang memperjuangkan keistimewaan dong?” tukasnya.

Terlebih, kata dia,  Willie Sebastian menyebut bahwa penerbitan Raperdais bidang Pertanahan yang isinya sebagai upaya menghidupkan kembali Rijksblad (hukum kolonial Belanda) sebagai SG dan PAG, dianggap kesalahan karena  sudah dihapus dengan Perda DIY Nomor 3/1984.

“Namanya hukum atau peraturan itu tidak berlaku surut. Artinya ketika UU No 13 Tahun 2012 sudah  disahkan dan Perdais baru diterbitkan, maka itu yang berlaku ke depannya hingga ada aturan terbaru yang menggantikannya. Otomatis itu  menggugurkan UU atau Peraturan  terkait sebelumnya,” tukas Subandi Kusuma yang Anggota DPRD Sleman dari Fraksi Partai Gerindra.

Sementara terkait argumentasi Willie dengan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA) sudah selesai polemiknya sejak disahkannya UU Keistimewaan. Kraton dan Pakualaman ditetapkan menjadi Badan Hukum Khusus yang dapat memiliki hak milik atas tanah, yang disebut Badan Hukum Warisan Budaya(BHWB).

“Dalam konstruksi hukum, tentu tidak  boleh tumpang tindih. Jadi UU Keistimewaan yang berlaku tidak bertentangan dengan UUPA, apalagi UUD Tahun 1945,” tandasnya. 

Sebelumnya Sri Sultan HB X mengaku heran dengan tuduhan Willie. Menurutnya di DIY tidak ada tanah negara, karena asal usul sejarahnya adalah hasil palihan nagari, yang merupakan perjanjian pembagian dua wilayah antara Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta yang dikenal perjanjian Giyanti pada 1755 silam.

“Yang melaporkan enggak tahu sejarahnya,” tutur Sri Sultan kepada wartawan usai mengadiri. Rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Selasa (15/09/2015).

Sekadar mengingatkan, LSM Granad melaporkan Sri Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) Komnas HAM, dan Badan Pertanahan Nasional Pusat, terkait indikasi gerakan sparatis di DIY pada 12 September lalu.

Sebelumnya Ketua Granad, Willie Sebastian  dalam diskusi tentang urgensi pengaturan tanah Kraton dan Pakualaman, yang digelar pada Selasa, 1 September 2015 lalu, menyatakan  aturan pertanahan yang ada di Yogyakarta bersifat diskriminatif. Ia merujuk pada Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman kebijakan Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi yang masih dipertahankan.

Sebagai keturunan Tionghoa, Willie merasa menjadi bagian dari kelompok yang masih terdiskriminasi atas kebijakan itu.  Dia menganggap kebijakan Pemda DIY diskriminatif dan tidak sesuai dengan  dasar UU PA dan Perda nomor 3 tahun 1984.

“Pada intinya (kedua peraturan perundangan tersebut, red) mengamanatkan bahwa wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja dihapus dan beralih kepada Negara,” katanya dalam keterangn persnya kepada wartawan, Selasa (15/09/2015) kemarin. (zal)

Redaktur: Rudi F

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com