YOGYAKARTA – Negara-negara berkembang dan miskin di di dunia yang terjerat hutang rawan disusupi paham radikalisme dan terorisme. Hal itu juga berkaitan erat dengan adanya peran lembaga-lembaga donor internasional yang secara tidak langsung turut menumbuh suburkan paham menyimpang tersebut.
“Tidak sedikit negara-negara yang mengalami masalah radikalitas ekstrimitas adalah negara-negara yang terjerat oleh hutang. Dia punya uang tapi uang yang ada di negara itu, dalam porsi yang besar sekali ratusan miliar atau mungkin trilyunan itu, hanya dipakai untuk membayar bunga hutang saja. Maka kalau kita bicara seperti ini, lembaga-lembaga internasional yang membangun skema hutang, yang eksploitatif itu, juga bertanggungjawab terhadap radikalitas yang tersebar dimana-mana. Karena dengan sistem yang ada itu, dia memperkecil kapasitas negara untuk menghadirkan pelayanan yang baik bagi warganya,” ungkap Dr. TGH Muhammad Zainul Majdi, MA, ulama sekaligus Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam ceramah di beberapa institusi perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu-Minggu (17-18/06/2017) kemarin.
Lebih spesifik dijelaskan tokoh nasional yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB), selain adanya faktor global, tekanan ekonomi yang memicu radikalisme dan ekstrimisme salah satunya karena banyaknya orang terdidik yang tidak menemukan tempatnya untuk mengaktualisasikan ilmunya dan bekerja.
“Dan kalau bicara ini tentu kapasitasnya terkait dengan kapasitas negara menyediakan lapangan kerja, berkait sumberdaya keuangan negara,” tukas gubernur muda sarat prestasi ini.
Masih menurut TGB, paham radikal bisa juga disebabkan karena adanya depresi sosial. Terkait hal itu, dicontohkannya ketika masyarakat urban dari desa di kota kehilangan komunitasnya, sehingga bingung mau berbuat apa.
“Jadi jaring pengaman batiniahnya itu hilang. Merasa asing, merasa rapuh. Nah disinilah ada (pahan radikal, red) yang masuk. Termasuk juga seseorang yang dibesarkan dalam suatu sistem tata nilai lalu mendapati sistem nilai yang sangat kontradiktif dari yang selama ini ia tahu. Ini boleh ini ngga boleh, kok saya hidup dimana ruang dipenuhi yang nggak boleh itu. Sehingga timbul keputus asaan, lalu muncul kemarahan. Kemarahan menimbulkan perlawanan. Jadi ada faktor depresi sosial,” kata TGB menguraikan.
Diuraikan TGB lebih lanjut, Radikalitas itu muncul karena hilangnya pendidikan budaya dari institusi pendidikan yang baik. Contoh institusi tersebut, ujar TGB, kalau bagi umat islam itu ada masjid, keteladanan para tokoh (ulama, red), pranata adat yang terbentuk dan dibangun di tengah masyarakat, atau sistem yang ada. Namun, kata dia, akhir-akhir ini yang terjadi adalah instititusi pendidikan atau simbol agama diremehkan. Akibatnya, perlahan-lahan pendidikan yang baik dalam masyarakat semakin meluntur dan justru memberikan lahan subur bagi tumbuhnya paham radikal.
“Misalnya berita yang ada di masjid ada teroris yang ditangkap, itu disebarkan menjadi viral kemana-mana. Satu persatu institusi yang tugasnya selama bertahun-tahun membangun budaya baik itu kita gergaji, kita rusak kredibilatasnya. Pada saat kita tidak bisa menghadirkan institusi alternatif untuk melaksanakan fungsi itu, jadi yang terjadi sumber-sumber untuk membangun budaya yang baik itu hilang. Dengan memahami sebab ini saya kira sebenarnya kita lebih mudah untuk mencari solusi-solusinya ,” pungkasnya.
Sekadar informasi, TGB tiba di Yogyakarta sejak Sabtu (17/06/2017) pagi sebelumnya telah mengisi sejumlah pengajian dan diskusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selepas mengisi Pengajian di Masjid UGM, TGB turut memberikan ceramah dalam jama’ah Maiyah asuhan Budayawan MH Ainun Nadjib (Cak Nun) di Tamantirto, Kasihan, Bantul. Rangkaian safari Ramadhan TGB di Yogyakarta berlanjut Minggu (18/06/2017) dengan menghadiri undangan sebagai penceramah di beberapa wilayah di Kabupaten Sleman. (kt1)
Redaktur: Rudi F