Sugiyanto: Atasi Kenakalan Pelajar DIY, Perlu Penerapan Pendidikan Multikulturalisme

YOGYAKARTA –  Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah megeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) Pendidikan Berbasis Kebudayaan Yogyakarta. Namun demikian banyak ditemui kasus kriminalitas dengan pelaku anak-anak usia pelajar.

“Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita Bersama. Saya kira pendidikan berbasis budaya Yogyakarta sudah tepat untuk menguatkan pendidikan karakter,” kata Ketua Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) Komisariat DIY, Sugiyanto Harjo Semangun saat menjadi nara sumber dalam Rapat Dengar Pendapat Pandangan Umum (RDPU) DPRD DIY dengan Pengurus Provinsi Keluarga Besar Marhaen (PP KBM) DIY, di Loby Kantor DPRD, Senin (09/10/2017) siang.

Dikatakan Sugiyanto, pribadi yang berkarakter adalah pribadi yang kritis, berwawasan, etis memiliki kebebasan bertindak dan menghargai kesetaraan. Untuk mengembangkan pribadi-pribadi yang berkarakter, kata dia, maka pendidikan multikulturalisme perlu diterapkan.

“Esensi pendidikan multikultural adalah pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk memahami dan menerima keanekaragaman sebagai bagian eksistensi manusia. Model ini akan membuka indera kaum muda bahwa perbedaan merupakan bagian dari dirinya. Kenakalan remaja, tawuran pelajar misalnya, itu kan berangkat dari saling tidak menghargai perbedaan. Dari tawuran ini lalu berkembang ke tindakan lain yang menjurus kepada kriminalitas,” ungkap Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) ini.

Tujuan pendidikan multikultural, kata dia, adalah menumbuhkembangkan sikap toleransi dan solidaritas personal humanistik, serta kepekaan pada hak-hak asasi individu dalam relasi sosial, namun sekaligus menyadarkan mereka agar peka terhadap situasi sosial di sekitarnya.

Pendidikan multikultural menurutnya adalah kebutuhan mendesak, mengingat tuntutan dan realitas bangsa yang keanekaragaman merupakan bagian penting dari pada eksistensinya.  Artinya, imbuh Sugianto, kesadaran mengakui perbedaan sebagai bagian dari eksistensi bangsa perlu ditumbuh-kembangkan, sebagai pondasi utama sehingga konflik baik yang bersifat horizontal maupun vertikal dapat diminimalisasi.

“Bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan krisis mendasar yang sifatnya multidimensional, yakni tergerusnya pengakuan nilai-nilai kebhinnekaan, disorientasi nilai-nilai kebangsaan di tengah-tengah gempuran globalisasi. Berhadapan dengan situasi seperti ini, karakter insklusif kritis sangatlah dibutuhkan. Dengan karakter insklusif kritis, diharapkan generasi muda mampu menerima perbedaan, sekaligus cermat dalam menyikapinya. Dengan karakter ini mereka tidak mudah terbawa arus negatif dari gempuran globalisasi yang bersifat negatif,” imbuh Sugiyanto yang alumni Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) PPSA 17 ini.

“Sesungguhnya gerakan multikulturalistik sudah dibangun sejak awal oleh founding fathers ketika ada kesepakatan bangsa ini untuk bersama-sama dalam membentuk sebuah negara, yakni proses konsolidasi secara budaya melalui Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, serta konsolidasi secara politik melalui point of no return (proklamasi, red) pada tanggal 17 Agustus 1945,” imbuh tokoh nasional kelahiran Sleman ini. (kt1)

Redaktur: Ja’faruddin AS

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com