YOGYAKARTA – Meskipun Organisasi Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan, namun orang-orangnya diperbolehkan membuat organisasi masyarakat (Ormas) baru asal tidak ada agenda untuk merubah dasar Negara Pancasila.
Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo usai menjadi key note speaker dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara (PSPBN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Gedung Prof. RHA. Sunaryo Lt.1 UIN Sunan Kalijaga, Selasa (31/10/2017)
Mendagri juga menegaskan, pengendalian Ormas oleh pemerintahan sekarang berbeda dengan era Orde Baru (Orba) yang memberlakukan Undang-Undang Subversif. Sehingga, kata Mendagri, siapa saja termasuk mantan anggota HTI masih dibebaskan untuk berserikat sejauh tidak menyebarkan ideologi-ideologi yang di-set up untuk merubah dasar negara, seperti halnya juga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berideologikan Atheisme, Marxisme, dan Leninisme.
“Beda lho (dengan Orba). Saya kira semua sekarang sudah fair, terbuka. Walaupun HTI dibubarkan, ya inginnya supaya mereka kalua mau bentuk Ormas lagi silakan, tapi jangan sampai punya agenda untuk ada ideologi baru. Organisasi wartawan juga macam-macam, banyak tidak hanya ada satu PWI. Semua Pancasila, tidak masalah. KNPI sekarang ada dua atau tiga pecahannya, tidak masah,” katanya didampingi Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA, P.hD dan Ketua PSPBN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Badrun Alaena, M.Si.
Soal membubarkan Ormas sebelum proses pengadilan, Tjahyo menegaskan itu bukan hal yang menyalahi aturan. Ia menganalogikan misalnya Rektor boleh memecat langsung mahasiswa yang membuat onar, baru setelahnya mahasiswa mengajukan ke pengadilan. Kalau si mahasiswa bersalah, kata dia, memang layak dipecat, tapi kalau benar, maka harus direhabilitasi.
“Prosesnya (pengadilan) seperti yang sekarang di MK,” katanya.
Terkait DPR yang tidak bulat menyepakati PERPPU menjadi UU, Tjahyo mengatakan pemerintah menangkap sinyal bukan berarti yang menolak adalah anti Pancasila. Menurutnya fraksi-fraksi di DPR yang menolak lebih dalam konteks sanksi hukum 20 tahun penjara yang dianggap terlalu berat.
“Bapak presiden sudah mengedepankan proses dialog, mengedepankan proses revisi tapi hal yang perinsip mari kita sama-sama punya perinsip jangan ada agenda merubah Pancasila dan UUD 45,” tegas mantan Anggota DPR RI 30 Tahun ini.
Terkait hukuman 20 tahun penjara, belum menjadi keputusan final, karena nanti menunggu kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Kenapa ada wacana itu? Menurut Tjahyo tujuannya suapaya ada efek jera. Di Indonesia, kata dia, ada 3.664 Ormas, jika tidak dikontrol dengan sanksi berat maka tidak akan jera untuk mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Namun demikian, terkait hukuman Tjahyo menegaskan bahwa hakim yang nantinya memiliki kewenangan memutuskan.
“Pemerintah seperti yang disampaikan Bapak Presiden itu, ya bisa kita revisi, kemudian ini proses pengadilan yang lama haras dipersingkat,”ucap Tjahyo Kumolo.
Dalam ‘Seminar Nasional Bela Negara dan Kebangkitan Pemuda’ PSPBN UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Sunan Kalijaga, selain Mendagri dan Rektor UIN, hadir sebagai pembicara sejumlah tokoh akademisi dan Pimpinan Pemerintah Daerah di DIY. Antara lain, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A. (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga), Drs. H. Sri Purnomo, M.SI (Bupati Sleman), H. Agung Supriyanto, SH. (Kepala Kesbangpol DIY) dan Drs. Sukamto (Kepala Kantor Kesbang Kota Yogyakarta).
Sedangkan untuk bedah buku ‘Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan RI’ karya Dr. Sri Yunanto, M.Si, menghadirkan dua pembanding yang kompeten yaitu Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga) dan Dr. Ir. H. Helmi Faishal Zaini (Sekjen PBNU). (rd)
Redaktur: Ja’faruddin. AS