Masyarakat Jogja Pengawal Amanat HB IX: Lawan Pernyataan Handoko Bukan SARA

YOGYAKARTA – Pernyataan oknum warga keturunan China, Handoko di beberapa media online yang mengatakan  Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta  (DIY) No. K 898/I/A/1975 yang melarang warga etnis China memiliki tanah di wilayah DIY adalah diskriminatif dan rasis, menuai reaksi keras Masyarakat Yogyakarta Pengawal Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (MASYOPAS HB IX).

Handoko yang mengaku berprofesi sebagai pengacara tersebut bahkan menyatakan akan mengajukan banding setelah gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta atas perbuatan melawan hukum dengan tergugat Gubernur DIY dan kepala BPN Yogyakarta, ditolak majelis hakim.

Salah satu inisiator MASYOPAS HB IX, Deo Feri  mengatakan dilihat dari dalil-dalil hukum yang digunakan, Handoko tidak memahami struktur hukum. Handoko, kata dia, bukan oknum warga keturunan China yang pertama melakukan gugatan atas hak kemilikan tanah di Yogyakarta.

“Seharusnya Handoko ini belajar dari yang sebelumnya. Sejumlah nama yang lebih terkenal pernah menggugat kebijakan yang berdasarkan amanat HB IX tesebut. Semuanya mentah sampai tingkat kasasi. Tentu saja karena No. K 898/I/A/1975 saat ini masih berlaku dan diharapkan selamanya berlaku di DIY. Itu adalah bagian dari keistimewaan Jogja, oleh karenanya diakomodir dalam UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta,” tandas Deo.  

Deo membeberkan, sejumlah nama warga beretnis China yang pernah melakukan gugatan kepada BPN DIY antara lain Ong Ko Eng pada pertengahan 2015. Kemudian Tan Susanto Tanuwijaya, R Wibisono. Sedangkan pada tahun 2001, muncul sebagai penggugat, H. Budi Setyagraha dan Willie Sebastian. Deo mengemukakan, gugatan Budi Setyagraha waktu itu bahkan sampai ke Mahkamah Agung, namun gagal.

“Apa dikiranya Handoko ini lebih paham hukum ketimbang hakim-hakim di Mahkamah Agung? Atau lebih hebat dari penggugat sebelumnya?” ujarnya.

Ditegaskan Deo, pihaknya tidak hendak membangkitkan isu Suku Ras Agama dan Antar Golongan (SARA). Justru menurutnya mereka yang mempersoalkan status kepemilikan tanah di DIY itulah yang memancing keresahan warga Yogyakarta dengan pendekatan SARA. Selain itu, kata Deo, mereka telah menafikkan keistimewaan DIY yang menjadi bagian penting dalam sejarah keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan tegas Deo menampik jika kebijakan HB IX yang memberlakukan larangan kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah kepada etnis China, atas dasar kebencian terhadap ras tertentu,

“Ini ada faktor sejarahnya. Justru HB IX menunjukkan sikap seorang nasionalis, sehingga mewaspadai setiap kelompok yang berpotensi merongrong kemerdekaan yang belum lama direbut dari tangan penjajah. Waktu itu fakta sejarah etnis thionghoa atau China bersekutu dengan penjajah Belanda. Kalau berdasarkan kebencian tentu diusir. Tapi nyatanya beliau yang berhati mulia justru masih memberi tempat dan diijinkan memiliki HGB (surat Hak Guna Bangunan),” tegas Deo.

Dijelaskan Deo kenapa bukan hanya Sultan Ground dan Paku Alam Ground saja tapi juga status tanah milik negara di wilayah Yogyakarta juga dilarang dimiliki warga keturunan China. Menurutnya sejarah mencatat bahwa sebelum Indonesia merdeka, Nagari Ngayugyakarta Hadiningrat  adalah sebuah negara, artinya tanah di seluruh nigari adalah hak Sultan,

“Artinya kalua toh ada status hak milik negara, itu karena kerelaan Sri Sultan HB IX sebagai raja bergabung dengan NKRI. Kenapa memprioritaskan tanah untuk rakyat pribumi, karena beliau bertakhta memang untuk rakyat. Sri Sultan HB IX adalah pemimpin besar, tidak mungkin kebijakannya tidak benar, termasuk Instruksi No. K 898/I/A/1975. Kami warga Jogja siap selalu mengawal amanat beliau,” tegasnya.

Deo menegaskan, siapapun yang mempermasalahkan hak kepemilikan tanah di Yogyakarta sama saja telah mengingkari dan berusaha menghilangkan  sejarah dan secara nyata berusaha melawan dan memerangi HB IX yang juga seorang pahlawan Nasional,

“Artinya mereka yang mempermasalahkan menginginkan perang dengan masyarakat Jogja. Tidak ada kata lain selain melawan para perusak sejarah dan pengusik ketenangan dan keistimewaan DIY,” tegas Deo Feri.

Deo mengundang seluruh elemen masyarakat Yogyakarta untuk menyikapi dengan tegas pernyataan Handoko tersebut dalam pertemuan di nDalem Notoprajan nanti malam, (Kamis, 01/03/2018) pukul 19.00 WIB. Adapun agenda pertemuan adalah merumuskan pernyataan sikap dan aksi untuk menggugat balik Handoko agar menimbulkan efek jera,

“Agar tidak ada lagi oknum-oknum etnis China yang menggugat aturan yang merupakan bagian dari Keistimewaan Yogyakarta. Sekali lagi ini bukan isu SARA, karena banyak juga saudara-saudara dari warga keturunan yang mendukung gerakan kami. Kami sangat menjunjung kebhinnekaan, karena itu juga amanat dari Sri Sultan HB IX” pungkasnya. (kt1)

Redaktur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com