YOGYAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Mandiri Indonesia(FSPMI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendesak pemerintah untuk benar-benar serius mengawasi keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia.
FSPMI DIY menilai diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, bisa merugikan buruh dalam negeri jika tidak diikuti kontrol yang ketat dari pemerintah,
“Oleh karenanya kami (FSPMI) mendesak pemerintah untuk mengambil sikap tegas mendeportasi buruh kasar asing yang tidak memenuhi syarat dan TKA skillness labour,” tegas Sekjend FSPMI, Ahmad Mustaqim, S.H, C.P.L dalam acara refleksi Hari Buruh Sedunia, di Sekretariat FSPMI, Jl. Nayan Gg. Shinta No. 137 /138 RT 03 RW 25 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Selasa (01/05/2018) siang.
Berdasarkan temuan FSPMI, menurut Mustaqim, banyak terdapat TKA di Yogyakarta yang perlu dilakukan pengawasan dan pendataan. Selain itu, kata dia, FSPMI banyak menerima keluhan dari pekerja lokal karena adanya ketimpangan upah dengan TKA, meskipun posisi dan pekerjaanya sama,
Mustaqim juga mempertanyakan komitmen pemerintah, dimana melalui Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri berkali-kali menyampaikan agar dilakukan penguatan buruh di perusahaan namun di sisi lain pekerja tidak bisa atau sulit membentuk serikat pekerja,
“Rata-rata mereka hanya pekerja kontrak, yang aturan hukum ketenagakerjaan kontrak hanya bisa satu sampai dua kali kontrak saja, sehingga untuk memikirkan nasibnya sendiri saja belum menentu, bagaimana untuk fokus pada pendirian dan penguatan organisasi serikat pekerja yang mendorong penguatan pekerja itu sendiri?” tanya Mustaqim.
Di samping itu Mustaqim menengarai Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang sudah ada saat ini banyak yang tidak peduli dengan rekan mereka yang masih berstatus bukan pekerja tetap atau bekerja dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT).
Jika berbicara tentang buruh, imbuh Mustaqim, tidak bisa lepas dari Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 2003, yang sudah tidak relevan dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini. Ia menyebutkan berkaitan dengan pasal 59, dimana banyak sekali perusahaan yang tidak melaksanakan pasal tersebut dengan mempekerjakan buruh berstatus PKWT. Mustaqim memandang, ironisnya fenomena itu terjdi di mana-mana,
“Sebut saja di Yogjakarta, rekrutmen tenaga kerja baru meskipun kalau dilihat dari jenis dan sifat pekerjaanya seharusnya dengan PKWTT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tentu) tidak boleh untuk dipekerjakan dengan PKWT. Namun realitanya dilapapangan pekerja dikontrak dan mengguritanya outsorcing yang merambah diberbagai sektor dan hampir semua pemberi kerja melakukan hal tersebut,” bebernya.
Ditandaskan Mustaqim, kendati status kontrak menekan pekerja, namun kebanyakan menerima agar tetap bekerja demi menghidupi keluarganya. Hal itulah yang menurut Mustaqim dimanfaatkan oleh pemberi kerja dengan tidak memberikan status pekerja tetap pada pencari kerja,
“Sayangnya dalam hal ini pemerintah sebagi pelaksana UU melalui dinas tenaga kerja tidak bisa berbuat banyak, karena sanksi dari UU No 13 itu sendiri sangat tidak tegas, bahkan lemah. Yang kedua, pengawasan dari dinas tenaga kerja juga saya rasa masih sangat minim, meskipun berkali-kali kami menyampaikan hal tersebut namun jawaban klasik yang salalu muncul karen kurangnya tenaga pengawas,” ujarnya.
Sementara itu, terkait masalah perburuhan di Indonesia, dalam refleksi peringatan hari buruh 1 Mei 2018, FSPMI DIY menyampaikan empat point peryataan sikap.
Pertama, buruh harus bersatu sebagai kekuatan kolektifitas dan solidaritas antar sesama harus diperkuat lagi, tidak hanya ntuk pekerja yang berstatus pegawai tetap (PKWTT) namun untuk para pekerja kontrak dengan PKWT, outsorsing, casual and daily worker dan pencari kerja.
Kedua, pemerintah harus bertindak lebih tegas kepada perusahaan pelanggar UU.
Ketiga, DPR sabagai representasi wakil rakyat termasuk buruh, bersama pemerintah harus segera merivisi UU Ketenagakerjaan.
Keempat, pemerintah dalam melakukan pengawasan harus melibatkan organisasi Pekerja. (rd)
Redaktur: Ja’faruddin. AS