JAKARTA – Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo yang mengkritik analisis Rizal Ramli (RR) terkait perekonomian Nasional yang merosot, mendapat sorotan Direktur Lingkar Survei Perjuangan (LSP) Gede Sandra. Yustinus dicap (dituding) tidak paham ekonomi makro.
Menurut Gede yang juga pengamat ekonomi, Yustinus adalah seorang pengamat perpajakan yang baik. Namun ketika ia mencoba beralih bidang analisis menjadi pengamat ekonomi makro, analisanya tampak rancu.
Ia menyebut, salah satu contoh analisis Yustinus terkait Impor Beras. Gede menilai memang benar terjadi impor beras pada tahun 2000 (1,35 juta ton) dan 2001 (635 ribu ton), seperti pada data BPS. Tetapi impor tersebut, kata dia, bukan dilakukan oleh RR sebagai Kepala Bulog dan Menteri,
“RR tidak melakukan impor beras. Impor beras terjadi sebelum RR menjadi Kabulog. Ini menunjukkan bahwa berbagai aspek yang oleh Yustinus telah dianalisis, ternyata dengan data dan basis informasi yang minim” ujarnya dalam pers rilis yang diterima Redaksi Senin (28/05/2018).
Dijelaskan Gede, impor dilakukan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kabulog Jusuf Kalla (JK), via pengusaha Aksa Mahmud, pada tahun 1999 hingga tahun 2000. Itulah alasan kenapa JK di-reshuffle dari Kabinet Gus Dur pada tahun 2000, diganti dengan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan dengan RR sebagai Kabulog.
Menurut Gede Sandra, impor beras cukup besar kemudian terjadi setelah bulan Juni 2001 (pasca Gus Dur dilengserkan) hingga tahun 2004.
“Kebijakan ini dilakukan oleh Kepala Bulog Widjanarko, pada zaman pemerintahan Megawati. Wijanarko akibatnya masuk penjara karena kasus korupsi saat menjabat Kabulog,” tukasnya.
Gede memaparkan, praktisi pertanian yang juga mantan Menteri, Siswono Yudo Husodo, dalam sebuah tulisannya pada tahun 2005 (berjudul: Swasembada dan Impor Beras) memuji kebijakan era Gus Dur yang mengenakan bea masuk beras 25 persen dan impor yang berkurang drastis pada masa Gus Dur.
“Kemudian soal pengelolaan utang. Agar lebih lengkap pemahaman tentang rawannya pengelolaan utang Indonesia, saya sarankan Yustinus sebaiknya perhatikan data dari Nikkei Asian Review yang dipublikasi minggu lalu. Di sana dijabarkan jumlah utang luar negeri/yang dimiliki asing (external debt) beberapa negara berkembang yang penting di Dunia,” imbuhnya.
Dibeberkan Gede, besaran utang luar negeri Indonesia (USD 352 miliar) menduduki peringkat ke-3 terbesar, lebih kecil dari India (USD 513 miliar) dan Turki (USD 453 miliar), tapi lebih besar dari Argentina (USD 232 miliar), Malaysia (USD 212 miliar), Thailand (USD 148 miliar), dan Filipina (USD 72 billion).
Sementara bila dihitung perbandingan antara utang luar negeri dengan cadangan devisa negara tersebut, Indonesia (2,8 kali) kembali menduduki peringkat ke-3 tertinggi, di bawah Turki (4,1 kali) dan Argentina (3,8), tapi lebih besar dari Malaysia (2 kali), India (1,2 kali), Filipina (0,9 kali), Thailand (0,7 kali).
Seperti diketahui, Malaysia belum lama ini di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Muhamad mengumumkan kebijakan untuk mengurangi utang luar negeri negara mereka. Publik Malaysia pun menyambut luas. Ini berarti Malaysia sudah cukup khawatir dengan pengelolaan utang negaranya. Padahal barusan kita lihat, berdasarkan data di Nikkei Asian Review, bahwa peringkat Malaysia masih di bawah lndonesia berdasarkan jumlah utang luar negeri dan rasionya terhadap devisa.
“Apa yang akan dilakukan Malaysia di tahun 2018 kini, sudah pernah sukses dilakukan Indonesia di saat Rizal Ramli menjadi menteri di tahun 2000-2001. Saat itu pemerintah Indonesia sukses melakukan berbagai inovasi pengelolaan utang hingga sanggup mengurangi utang luar negeri hingga USD 4,15 miliar. Itu hal yang tidak pernah terjadi di era pemerintahan lain, sebelum atau sesudah Gus Dur,” tandasnya. (kt7)
Redaktur: Faisal