Ini Jawaban Kenapa Semakin Sedikit Perempuan Bisa Memimpin

Oleh: Fitria Anis Kurly*

Saya sedang dalam masa PMS ketika menulis ini. PMS atau Premenstrual Syndrome adalah salah satu masa terburuk tidak hanya bagi perempuan yang mengalaminya, tapi juga laki-laki yang berhadapan dengannya. Berupaya mengalihkan rasa sakit tersebut, saya iseng menonton sebuah video konferensi oleh Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer (COO)  Facebook, berjudul “Why we have too few women leader? Sebuah kesadaran kemudian membuat saya berfikir, PMS bukan lagi menjadi masalah yang signifikan. Ini hanya satu kendala tidak berarti ketika saya merasa salah satu petinggi Facebook tersebut menepuk bahu saya dan bertanya secara langsung “Kenapa tidak banyak perempuan bisa memimpin?”

Harus diakui, kita beruntung hidup di dunia dimana perempuan memiliki pilihan karir tidak terbatas. Tidak seperti jaman dimana ibu dan nenek kita hidup dulu. Meski anehnya juga, kita hidup di jaman dimana sebagian perempuan lainnya tidak memiliki pilihan-pilihan tersebut. Tetapi kita juga masih punya masalah berikutnya karena kebanyakan perempuan, jika tidak bisa saya sebut semuanya, tidak mencapai puncak dalam profesi apapun, dimana saja, di dunia ini.

Diantara 190 kepala negara ada 9 diantaranya perempuan, diwilayah pemerintahan tercatat diseluruh dunia terdapat hanya 13% diduduki oleh perempuan, diwilayah koorporasi perempuan sering berada di jenis pekerjaan berlevel rendah bahkan membosankan dan yang berhasil keluar dari hal ini hanya 15-16% dan angka ini bertahan sejak tahun 2002. Bahkan diarea pekerjaan non-profit, dimana orang banyak berfikir akan dipimpin oleh wanita, fakta mengatakan bahwa hanya 20% kebenarannya.

Saya kemudian mengingat kembali bahwa perempuan acapkali menghadapi pilihan menakutkan antara “Professional Success” dan “Personal Fulfilment”. Mereka para perempuan, seolah-olah wajib memilih antara keduanya, tidak bisa tidak. Terutama di Indonesia, negara yang masih begitu kuat dengan system patriarki atau adat ketimuran lainnya. Terlebih bagi saya yang harus diatur bersikap Njawani (Berlaku selayaknya Orang Jawa) agar tetap diakui bersuku jawa.

Jadi pertanyaannya adalah bagaimana kita menghadapi ini? Bagaimana caranya membuat perbedaan? Tenti kita tahu bahwa jumlah perempuan dengan kualitas tinggi menurun. Kebanyakan orang, sekali lagi jika tidak bisa saya katakana semuanya, sadar akan hal ini. Mari kita membahas ini dari sisi individual, dari sisi para perempuan. Hal apa yang harus kita sampaikan pada diri kita sendiri? Apa yang harus kita katakana pada perempuan yang bekerja kepada atau untuk kita? Dan yang terpenting, apa yang akan kita sampaikan pada anak perempuan kita dimasa depan?

Mempertahankan perempuan agar tetap bekerja diluar bukan hal yang selalu benar. Kita, dan mungkin banyak orang pernah mengalaminya, saat Ibu harus pergi bekerja pagi dan pulang malam hari kita akan menangis dan menahannya agar tetap tinggal di rumah. Begitu bahagianya jika Ibu kita tetap tinggal dirumah menemani kita bermain dan belajar. Bagi perempuan ini sangatlah berat, terlepas dari apapun jenis pekerjaannya. Jadi memang benar bahwa bekerja bukan sesuatu yang mutlak benar dan solusi permasalahan diatas.

Yang penting untuk dipahami bagi perempuan yang secara merdeka memilih bekerja, catat Sheryl Sandberg, ada tiga hal. Pertama, sit at the table, kedua make your partner a real partner dan ketiga don’t leave before you leave dan berikut penjelasannya.

Sit at the table bisa diartikan sebagai ekspresi dukungan untuk perempuan agar percaya pada dirinya sendiri. Diakui atau tidak, perempuan seringkali meremehkan kemampuan mereka sendiri. Jika saya bertanya ke teman saya yang laki-laki dan perempuan pertanyaan seperti “bagaimana ujianmu tadi?”, teman laki-laki saya menjawab “gampang, nilai saya pasti tinggi” sedangkan perempuan “entahlah, mungkin seharusnya tidak begitu tadi”. Jika mau dicoba, tanyakan ke mereka “apakah mereka melakukan pekerjaan mereka dengan baik?” maka kira-kira jawabannya akan seperti ini, laki-laki “Tidak usah ditanya lagi, pasti mantap” dan perempuan “Saya beruntung punya rekan kerja dan lingkungan yang membuat saya juga bekerja keras, dan saya merasa sedang beruntung”.

Mungkin sebagian kita belum percaya, tapi coba saja. Intinya adalah tidak ada yang mendapat sukses jika mereka merasa diri tidak layak. Tidak mendapat projek, promosi, posisi bisa jadi bermula pun karena hal tersebut. Sheryl Sandberg dengan jelas menggarisbawahi “Believe in yourself. Own your own success”.

Kedua, menjadi dan memilih sebenar-benarnya patner atau pasangan. Bukan urusan mudah saat harus menentukan siapa yang harus tinggal di rumah, bekerja di luar atau dua-duanya harus bekerja, meski memang adat ketimuran kita menciptakan stereotype bahwa laki-laki dominan bekerja diluar rumah. Faktanya, jika laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja perempuan memiliki dua atau tiga perkejaan lain sekaligus bahkan lebih.

Di banyak kasus, perempuan harus melakukan lebih banyak pekerjaan rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan mengurus anak. Percayalah, pekerjaan paling sulit adalah pekerjaan di dalam rumah. Pilihlah patner yang memahami bahwa menonton pertandingan bola tidak seberapa penting ketimbang melakukan hal lain karena memahami konsep ini. Kesamaan berfikir, terlebih visi adalah yang terpenting.

Selanjutnya , don’t leave before you leave. Jangan mundur sebelum hal-hal yang kita persiapkan seperti memiliki anak atau mengurus rumah benar-benar terjadi. Ini ironis, Semua orang sibuk, perempuan juga begitu. Namun ketika perempuan berfikir tentang menikah, melahirkan, membesarkan anak mereka mulai mempersiapkan diri dengan menarik diri dan perlahan mundur. Padahal yang mereka fokuskan itu baru akan terjadi nanti di masa depan.

Mereka mulai meremehkan dirinya untuk tidak berkompetisi, untuk tidak mengambil proyek – proyek penting atau meningkatkan kualitas diri dan pekerjaan mereka. Setelah masa cuti hamil, melahirkan dan semua kesibukannya yang cukup panjang tersebut, kebanyakan perempuan tidak bergairah kembali berprestasi dan berkiprah karena memang mereka tidak menciptakan sesuatu yang layak dan menantang untuk membuat mereka kembali. Jadi sebelum itu kita alami, tetaplah berada diposisimu, jangan memutuskan sesuatu yang tanpa sadar bahkan sudah kita lakukan. Berbuatlah sesuatu dan pastikan dirimu kembali tanpa mengabaikan apapun.

Terakhir, generasi kita saat ini mungkin tidak bisa merubah perbedaan prosentase dominasi laki-laki terhadap perempuan di atas, atau setidaknya mengecilkan perbedaannya. Tapi generasi masa depan bisa. Semoga kita bisa tetap berharap, anak laki-laki kita dimasa depan mempunyai pilihan untuk bekerja dimana saja demikian pun untuk anak perempuan kita nanti, mereka akan memiliki pilihan untuk tidak hanya menjadi sukses tetapi juga tetap dihargai atas apa yang telah dicapainya. Dan tidak kalah pentingnya kita bisa menyampaikan ini ke sesame perempuan dan kepada diri kita sendiri. [*]

*Penulis Buku”Asa untuk Indonesia” and Master Candidate of TESOL, University of Bristol, United Kingdom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com